Lampung
Post
Minggu,
22 April 2007
Kartini yang
Terempas
Cerpen: Ida Refliana
HIDUP begitu naif baginya. Tak ada
kebahagiaan yang sudi menyapa dirinya, kecuali rasa sakit dan segunung luka.
Luka yang terpahat dari jari tangannya. Luka yang memerihkan hati. Menguliti
seluruh bagian tubuhnya.
Kartini menangis. Air mata telanjur menelaga.
Dosa demi dosa bak lumpur panas yang siap menenggelamkan negeri ini. Apa
dinyana? Dosa tak berwajah. Tak pernah menampilkan bentuknya. Yang berenang
dalam sukmanya adalah semata hasrat dan gairah. Dan, gairah itu? Menghasilkan
sebuah keajaiban yang menakutkan.
"Maaf, Suster. Saya tidak punya uang
untuk menebus bayi itu," Kartini terisak-isak.
"Tidak bisa begitu! Kami tidak peduli
Ibu sanggup bayar atau tidak! tapi kewajiban Ibu harus melunasi biaya
persalinan. Ibu boleh pulang dan bayinya kami tahan di sini."
Suster muda itu segera mengusirnya hingga
keluar dari klinik bersalin. Kartini pun pergi. Membawa langkah kaki yang
terseok-seok, mengais debu jalanan. Potret manusia terpinggirkan. Seperti
anjing kurap. Serupa sampah. Sebusuk bangkai. Mungkin. Kadang ia tak sanggup
mengendus aroma sendiri.
Di dalam raganya telah lama bersembunyi
hewan. Dia sadar hal itu. Sungguh. Kalau tidak, tak mungkin ia sanggup
melahirkan orok tanpa menikah. Dan kini kembali terjadi untuk kedua kalinya.
Yang bisa dilakukannya hanya menangis. Kemudian berpikir keras, mencari manusia
yang mau berbaik hati menebus bayinya.
"Tolonglah, Tante?" mohon Kartini.
Tante bergincu tebal, dan rambutnya yang
blonde selalu menjadi tempat pelarian masalahnya. Wanita tersebut dengan senang
hati lantas membiayai persalinan Kartini, lalu mencarikan orang tua angkat bagi
bayinya. Entah dijualnya atau hanya diberikan begitu saja. Sejauh ini Kartini
tak pernah bermaksud menjualnya. Dia tak sekeji itu.
"Sebetulnya aku letih, Nang. Aku ingin
menikah saja. Tapi siapa yang mau ngawinin aku?, ujar Kartini.
Siang itu matahari baru saja melewati
ubun-ubun. Kartini sudah berjalan sejauh ratusan meter dari rumahnya, untuk
berjumpa Lanang di bawah sebuah pohon besar, di sisi trotoar jalan.
Lanang selalu setia mendengar cerita-cerita
Kartini. Karena ia tak pernah bicara. Mungkin bisu. Mungkin juga tidak. Lanang
adalah lelaki misterius. Ia hanya mengenal kehidupannya di bawah pohon akasia
tersebut. Lanang senang duduk bersila, menatap kosong setiap pemandangan yang
terekam dalam memori otaknya. Entah, dia mampu mengingat yang dilihatnya atau
tidak.
Banyak orang menuding Lanang gila. Tubuhnya
kotor, pakaian yang dikenakannya juga begitu. Kumal. Dekil. Sekotor rambut
gimbal yang tumbuh subur di bahu Lanang.
Bagi Kartini, Lanang bukan lelaki gila. Dia
hanya contoh kecil manusia berperilaku serbasederhana. Lanang tak pernah punya
mimpi. Apalagi untuk mempunyai ambisi. Tidak sama sekali. Untuk mengganjal rasa
lapar di perutnya saja, dia hanya mencari sisa-sisa makanan yang tercecer di
sepanjang jalan. Atau menunggu Kartini memberikannya sebungkus nasi.
"Hari ini aku ada janji dengan
seseorang. Semoga aku bisa bawa uang lebih banyak lagi, dan berhasil menggaet
hatinya. Doakan aku, ya Nang? Nanti kamu kubelikan baju baru dan makanan yang
enak-enak," kata Kartini.
Lanang diam. Dari sinar hampa matanya, ia
hanya mampu menyaksikan perempuan bernama Kartini berlari mendekati sebuah truk
yang tiba-tiba berhenti.
Pintu truk bermuatan barang itu kemudian
terbuka. Aksi tawar-menawar pun terjadi. Negosiasi. Penjual membutuhkan
pembeli, begitu pula sebaliknya. Setelah deal? Bermalam-malam ia sanggup
merenangi lautan cinta bersama sang sopir.
***
Pulang ke rumah ibu, selalu ada sebab yang
membuat kedua kakinya terasa berat memasuki rumah berdinding papan itu. Saat
melihat kedua mata ibu, dan linangan air bening yang tak putus membasahi
pipinya. Juga sebuah pertanyaan yang tak pernah mampu ia berikan jawabnya hingga
kini.
"Di mana anakmu?"
Kartini hanya bisa menggeleng. Ketajaman mata
Ibu seakan ingin menembus rahasia yang bertahun-tahun disembunyikannya.
Bukan salah ibu, jika ia harus menanyakan
keadaan Kartini. Walau Kartini hanya bisa menyambangi wanita itu beberapa bulan
sekali. Tetapi hidup seakan menuntut dirinya untuk dapat lebih bijak menjalani,
dan menerima pahitnya saat lingkungan di sekitar tak lagi sudi menerima.
"Kamu selalu jadi gunjingan
tetangga," keluh Ibu.
Ibu memang tak pernah sanggup marah. Bahkan
dia kerap sibuk menyalahkan diri dan nasib yang tak pernah berpihak atas
hidupnya. Dulu, saudara lelakinya pernah memperkosanya hingga lahirlah Kartini.
Tetapi kemudian, Orang tua dan semua keluarganya justru mengasingkan dirinya di
suatu tempat.
"Jangan pergi, Kartini!" Ibu
memeluk Kartini sangat erat.
"Saya harus pergi, Ibu. Saya harus
mengumpulkan banyak uang. Dan nanti suatu saat, saya pasti membawa Ibu pergi
jauh dari sini," Kartini melepas pelukan ibunya. "Percayalah, Bu.
Saya sangat menyayangi Ibu."
Hati Kartini sebetulnya menjerit. Sakit. Tak
kuasa dirinya membiarkan ibunya hidup dalam kesepian. Tapi? Apa yang bisa
dilakukannya? Kecuali janji-janji yang tak pernah bisa diwujudkannya hingga
kini.
Kartini hanya lulusan sekolah dasar.
Cukuplah, kata Ibu. Sekadar untuk bisa membaca dan menghitung uang. Sedari
kecil ibu lebih banyak mengajarinya, bagaimana cara mencari uang demi untuk
menambal perut dan agar tidur mereka tidak kehujanan.
Ibu seakan tak pernah letih, setiap hari ia
mencucikan pakaian para tetangga. Dan setelah pakaian-pakaian itu kering,
disetrikanya. Sesudahnya baru kartini yang mengantarkan kepada pemiliknya.
Meskipun pekerjaan tersebut cukup melelahkan,
namun sangat indah untuk dikenangnya. Kartini tentu tak bisa melupakan kisah
pedih itu begitu saja. Sebab ia memang tak sanggup menyaksikan penderitaan yang
ditanggung ibunya. Hingga kemudian setelah ia besar, dan mulai memahami
kerasnya kehidupan di kota
besar. Kartini pun akhirnya terpaksa membuat pilihan pahit di hidupnya.
Menjajakan cinta kepada sopir-sopir truk berhidung belang.
Bukan tak ada pekerjaan yang lebih mulia
mampu dilakukannya. Ketika masih berumur belasan tahun, Kartini beberapa kali
bekerja menjadi tenaga pembantu rumah tangga. Dan, seperti kisah klise
orang-orang yang berasal dari kalangan kelas bawah yang dianggap lebih pantas
untuk menjadi objek kekerasan dan sasaran pemuas seks sang majikan. Kartini
adalah satu dari sekian jumlah korban tersebut.
***
Adakah cinta akan tumbuh di hati pria
semisterius Lanang?
Kartini merapatkan kelopak matanya. Ia
menggeleng. Membuang pertanyaan gila itu dalam pikirannya. Dia berharap itu
hanya sugesti. Bukan niat terselubung dari keinginannya berempati terhadap
nasib dan penderitaan laki-laki tersebut.
Kalender di kamarnya sudah ia tandai. Malam
ini adalah bulan kedua, Lanang kehilangan jejak dirinya.
Lanang? Akankah dia mengingat Kartini?
Pertanyaan aneh tentang Lanang, menggodanya
kembali. Tiba-tiba Kartini tersenyum. Seketika saja dia mulai becermin, menatap
garis ketuaan perempuan berusia kepala tiga. Mungkinkah dia harus menjalani
hidup seperti ini selamanya? Sementara ibunya tak pernah putus mendoakan bagi
kebaikan dirinya?
Kartini tercenung lama. Hingga kemudian ia
menyadari keberadaan Lanang, berdiri tegak di pintu rumahnya yang memang
dibiarkan terbuka.
"Lanang? Dari mana kamu tahu
rumahku?"
***
Di bawah pohon akasia itu, kini, hanya
tinggal rerumputan dan ilalang yang mendiami. Tak akan ada lagi sosok Lanang
dapat ia temui. Lanang sudah pergi jauh. Baru saja orang-orang kampung di
sekitar tempat itu membawa usungan tandu jenazah menuju tanah pekuburan di
bawah kaki bukit.
Kartini hanya bisa melihat iring-iringan
pembawa jenazah dari kejauhan. Ia tak mungkin bergegas menyusul ke sana , atau mengikuti dari
belakang dan berjalan jauh ke tempat tersebut. Tidak akan dilakukannya. Walau
sangat ingin Kartini menyaksikan prosesi penguburan Lanang. Melihat Lanang
untuk terakhir kalinya
Perempuan terempas itu masih tertegun.
Baju-baju baru yang sejak lama dipersiapkannya buat Lanang, diberikannya pada
bapak tua yang kebetulan terjumpa di tempat tersebut. Dari mulut lelaki itu
pula, Kartini mendengar sebab meninggalnya Lanang.
"Pagi tadi sebuah mobil truk
menabraknya, saat Si Gila berniat menyeberangi jalan ini"
Kartini menyusut air matanya. Dia harus
secepatnya meninggalkan tempat tersebut. Bayangan wajah Lanang sudah tak mampu
lagi ia gapai. Pergilah. Kartini sudah mengikhlaskannya. Barangkali keputusan
Tuhan atas peristiwa ini, merupakan pilihan terbaik bagi Lanang.
Hanya satu keinginan hatinya kini, bertemu
ibu dan mengajaknya memulai kehidupan baru yang lebih baik.
"Kau hamil lagi?" tanya ibunya,
setelah keduanya bertemu di bilik kos tempat ibunya tinggal. "Kau pasti
sudah menikah, bukan?"
Kartini membelai lembut perutnya. Ia memang
sedang menghitung hari, di usia bulan ke sembilan kehamilannya. Dan, sampai
saat sekarang, Kartini tak juga mampu menjawab semua pertanyaan ibunya.
"Siapa nama suamimu?"
Kartini tetap membisu. Ada wajah Lanang menggelayuti pikirannya. Ia
lantas tersenyum. Meski hampa. Tapi setidaknya Kartini telah mampu membuat
pilihan, untuk bisa menjaga dan membesarkan bayinya kelak.***
Panjang, April 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar