Media
Indonesia
Minggu,
06 Mei 2007
Mimpi
Berwarna Kelabu
Cerpen: Rama Dira J
DI SUATU subuh yang
berkabut, mendadak Maharani terpental ke dalam sepenggal mimpi berwarna kelabu.
Semesta kelabu dan segenap isinya juga kelabu. Sisa bulan purnama kelabu, menggelantung
di langit kelabu dengan sinar bergeletar karena tertiup angin yang tentunya
kelabu. Embun-embun kelabu menetes dari ujung dedaunan kelabu, untuk kemudian
jatuh ke tanah yang kelabu. Demikianlah, seluruhnya adalah kelabu.
Di tengah-tengah tanah lapang itu, Maharani melihat ada sekumpulan lelaki yang semuanya berikat kepala, tengah duduk bersila mengelilingi seorang paling tua yang memegang cawan di kedua tangan sambil merapalkan serangkaian mantra.
Angin lembah yang tak henti bertiup terasa membunuh dinginnya. Namun, tak ada di antara orang-orang itu yang merasakan perihnya irisan-irisan tajam angin itu pada kulit kelabu mereka, sebagaimana Maharani.
Maharani memerhatikan mereka satu-satu tapi tak ada wajah kelabu yang bisa dikenalnya, kecuali satu, wajah suaminya. Maharani berusaha mendekat, memegang bahu laki-laki itu, "Mengapa di sini?"
Nyongka seperti tak lagi mengenalinya. Matanya marah, sempat memandang sekejap padanya untuk kemudian berpaling, kembali memejam, terbuai dalam dengung mantra milik sang perapal.
Maharani tak segera meninggalkan tempat itu sampai pada penghujung mantra dan orang-orang itu kemudian secara bergiliran meminum cairan darah dalam cawan, yang warnanya tidaklah merah sebab seperti sudah ditakdirkan, semua yang ada di dalam mimpi itu berwarna kelabu semata.
Usai semuanya mendapat giliran, mereka mulai meraung, memukul-mukul tanah, berdiri, mengambil pedang masing-masing, lantas terbang satu-satu bersama angin yang menghembus ke arah pemukiman suku Radu, di kampung sebelah.
Mimpi itu belum tuntas ketika Maharani mendapati tubuhnya telah basah peluh, masih terbaring di dalam pelukan Nyongka. Hembusan napas hangat milik sang suami yang baru menikahinya dua minggu yang lalu itu terus menyapu tengkuknya, membuat bulu-bulu halus di
Maharani berusaha bangkit menuju jendela, membuka dua daunnya. Ia melihat, semesta di luar yang menyungkup pemukiman suku Radu itu masihlah larut dalam pekat sisa malam. Ia tak lagi bisa memejam kembali sebab pikirannya terus menerawang, menerka-nerka apa gerangan yang dibawa oleh mimpi itu, sampai matahari muncul dari balik perbukitan.
Bertahun-tahun sebelumnya, sebelum menikah dengan Nyongka, ia memang pernah mendengar, ritual semacam yang ada di dalam mimpinya itu adalah ritual yang biasa dilakukan suku Ayal sebelum berangkat menuju
*****
SEBAGAIMANA malam-malam sebelumnya, malam ini Maharani termenung bimbang, ketika tiba-tiba suaminya duduk terbangun dan merasa aneh menemukan fakta bahwa istrinya duduk membeku di samping dipan bambu pada saat semestinya ia tidur pulas sebagaimana dirinya sebab malam masihlah pekat. Tak bisa tidak, ia pun bertanya.
Mulanya Maharani berusaha mengelak. Ia menggeleng, menegaskan tidak terjadi apa-apa. Namun kemudian, Nyongka tak segera percaya. Ia terus mendesak Maharani sampai kemudian bersedia menceritakan mimpi berwarna kelabu yang selalu menyerang tidurnya dalam malam-malam terakhir ini.
Mimpi itu, sungguh mendatangkan perasaan mencekam pada Maharani. Sampai-sampai, segenap peristiwa yang ada di dalamnya terasa seperti rekaman gambar nyata yang terpampang di depan matanya. Namun, selalu, mimpi itu tak pernah tuntas. Tak berujung, hingga kemudian menyebabkan pikiran Maharani selalu galau, terpaksa menduga-duga apa yang akan terjadi sesudah itu.
Mendengar itu, Nyongka seperti tersihir sesuatu. Perasaannya menjadi bimbang.
"Benarkah itu?" Ia masih meragukan Maharani.
"Tentu! Aku tak mungkin membual!"
"Sungguh aneh..."
"Aneh bagaimana?"
Nyongka tak menjawab pertanyaan Maharani. Ia membatin, ?Bukankah perang suku sudah lama tak terjadi? Bukankah ritual cawan merah sudah lama dibuang?? Pikiran berlanjut menyisir menuju masa lalu. Kala itu ia masihlah bocah. Di lembah pemukiman suku Ayal, ia menyaksikan sendiri bagaimana Ayahnya berupaya melerai beberapa lelaki Ayal yang berencana melakukan ritual cawan merah sebelum terlibat dalam perang suku dengan suku Radu di kampung sebelah. Seperti biasanya apa yang menjadi penyebab rencana penyerangan itu adalah masalah saling mengakui siapa sesungguhnya yang layak menempati kawasan lembah itu seluruhnya. Suku Ayal, sebagai suku asli yang sudah sejak lama menempati wilayah lembah itu merasa lebih berhak untuk tinggal di sana, sementara suku Radu yang adalah suku pendatang, tak mau begitu saja pergi meninggalkan wilayah yang sudah mereka tempati. Kedua pihak tak ada yang mau mengalah, sepakat mengadu kekuatan sampai nyawa pungkas. Siapa yang tak mati, dialah pemilik lembah itu. Sampai pada perang suku yang kesekian puluh kalinya, memang tak ada lelaki dari suku Ayal yang meninggal dalam perang suku. Korban yang meninggal semuanya dari pihak suku Radu.
Ketika Ayah Nyongka menjabat sebagai kepala suku Ayal baru, dialah yang kemudian mau mengambil jalan damai dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara dua suku yang mendiami lembah di kaki gunung itu. Sebagaimana yang disaksikan oleh Nyongka kecil, hal pertama yang dilakukan oleh Ayah Nyongka adalah mendatangi kumpulan lelaki yang akan melakukan ritual cawan merah tadi. Ia mencoba menenangkan mereka dan meyakinkan bahwa penyelesaian masalah dengan pertumpahan darah itu telah membuat roh-roh nenek moyang marah.
Sekelompok lelaki ini tak bisa menentang apa yang dikatakan oleh Ayah Nyongka sebagai kepala suku yang baru. Mereka juga mengiyakan rencana Ayah Nyongka untuk mendatangi kepala suku Radu demi menawarkan jalan damai, tidak dengan tumpah darah sebagaimana lazimnya terjadi.
Ayah Nyongka dengan beberapa lelaki dari pemukiman suku Ayal mendatangi pemukiman suku Radu keesokannya dan pulang dengan kabar yang melegakan. Telah disepakati jalan damai. Tanah milik suku Ayal yang sempat diakui sebagai milik suku Radu dikembalikan. Dan sejak saat itulah suku Radu dan suku Ayal sepakat untuk tak lagi terlibat dalam perang suku yang acap kali mengacaukan kehidupan kedua pihak di lembah itu. Semenjak itu pula ritual cawan merah tak lagi dijalankan oleh suku Ayal.
"Seharusnya tak ada lagi ritual cawan merah, meski hanya di dalam mimpi... "
Pembicaraan suami istri itu tak berujung pada kepastian. Kedua-duanya gundah, kedua-duanya tak bisa memejam meski mereka telah berusaha.
******
DI suatu subuh lain yang berkabut, Maharani terbangun. Ia tak mendapati Nyongka di sampingnya. Ia terus mencari-carinya ketika mendengar ribut-ribut di luar, teriakan-teriakan panik.
”Perang pecah. Perang pecah. Suku Ayal menyerang...”
Perkampungan suku Radu itu rusuh. Semuanya kacau balau. Kabarnya, para lelaki suku Ayal sudah berada di ujung Selatan perkampungan. Mereka menyerang membabi buta. Mereka telah membunuh banyak orang Radu sementara mereka sendiri, tak bisa terbunuh. Tanpa sepengetahuan Maharani, sehari sebelumnya telah terjadi perebutan tanah antara beberapa orang suku Ayal dan suku Radu di wilayah perbatasan. Tak ada kesepakatan damai yang tercapai, hingga pecahlah perang sebagaimana yang sering terjadi dua puluh tahun yang lalu.
Maharani pun menjadi panik, apalagi Nyongka tak ada bersamanya. Belum reda kepanikan Maharani, ia mendengar suara keras pada pintu yang dihasilkan oleh upaya beberapa orang untuk merobohkannya. Pintu ambruk dan dari dalam, ia bisa melihat, segerombolan lelaki berikat kepala, langsung memandang tajam padanya. Sebelum lelaki tertua masuk, Nyongka yang juga serta dalam rombongan itu, menghalanginya.
”Perempuan yang satu ini, biar aku yang membunuhnya.”
Lelaki tertua
mengalah dan memberi kesempatan kepada Nyongka untuk menuntaskan hasrat
membunuhnya meski sesungguhnya ia sudah menghabiskan ratusan nyawa milik orang
Radu, sebelum mencapai rumah ini. Dalam perang suku kali ini, suku Ayal tak
hanya menyerang kaum lelaki. Mereka menyerang siapa saja orang yang memiliki
aroma tubuh kas milik suku Radu. Lelaki, perempuan, anak, bayi, semuanya.
Nyongka melangkah maju, Maharani mundur dengan gerak yang tak kuasa menahan beban badan. Beberapa kali ia terduduk untuk kemudian susah payah berusaha bangkit dalam cekaman perasaan tak menentu. Maharani berusaha terus memandang suaminya dengan sepasang mata yang mulai berkaca-kaca. Ia tahu pasti, meski itu adalah Nyongka, roh yang ada di dalam tubuh itu tak akan mengenalnya. Sebentar lagi, ia akan mati dalam tangan orang yang paling dicintai. Dalam detik-detik terakhir menjelang Nyongka menghujamkan pedang ke tubuhnya, ia hanya pasrah. Sebenarnya ia ingin membisikkan ucapan selamat tinggal dengan penuh rasa sayang. Namun, ia tak segera bisa melakukannya.
Nyongka sudah tak berjarak dengannya. Namun, Nyongka tak juga segera menghujamkan pedang. Ia justru menarik lengan Maharani lantas membawanya bergegas menerobos pintu belakang, menaruh kedua lengan Maharani pada pundaknya untuk kemudian ia bawa terbang, terus meninggi perlahan, melintasi angin, terus menuju ke arah langit subuh yang tak berbintang. Di bawah mereka, terdengar teriakan para lelaki yang mengumpat, menyumpahi Nyongka yang telah meloloskan seorang perempuan suku Radu yang seharusnya ia bunuh itu.
Maharani terus terbang, melintasi waktu, mengitari semesta, dengan terus erat di punggung Nyongka yang tiba-tiba hilang dan menyisakan dirinya sendiri, terjatuh ke bawah, dalam hempasan angin, layaknya sehelai bulu merpati, terjatuh perlahan, hingga mencapai taman bunga yang indah, di dunia yang entah. Maharani kebingungan mencari. Ia memandang ke atas, tak juga bisa menemukan Nyongka di mana.
Mimpi itu usai, Maharani bangun. Baru kali inilah mimpi berwarna kelabu itu sampai pada akhir yang demikian. Ia puas, ia tersenyum sebab ia kini telah mengetahui akhir yang sesungguhnya.
Namun, senyuman itu segera berakhir karena tak ada Nyongka di sampingnya.
***
Pangkalpinang, 17 April 07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar