Seputar
Indonesia
Minggu,
29 April 2007
Hujan
Februari
Cerpen: Tary
Akhirnya ia memutuskan pulang. Angin sore
bulan Februari terasa pekat menampar wajahnya. Langit masih memuntahkan hujan
ketika ia turun dari taksi. Seorang bocah laki-laki menawarkan payung padanya.
Kurus, hitam, bertelanjang kaki dan menggigil
kedinginan. Mata tajam bocah itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia
merogoh saku jaketnya, mengangsurkan selembar uang dan berlari menyeberangi
halaman mal.Bocah laki-laki itu tertegun memandangnya. Ia mengibaskan pakaian
dan rambut yang basah lalu melangkah memasuki mal.
Tubuhnya menggigil oleh terpaan udara
pendingin ruang. Mendadak kulitnya terasa mengeriput.Setelah memeriksa denah
tiap lantai tak jauh dari pintu masuk,ia memutuskan naik menggunakan lift.
Salah satu kafe di lantai 3 menjadi pilihannya. Dari celah sekat ruangan
berbahan rotan, ia melihat ke dalam kafe.Ada tiga orang sedang duduk di sana . Sepasang muda-mudi
yang asyik bergenggaman tangan dan seorang lelaki yang menghirup secangkir
minumannya lambatlambat.
Ia mengambil meja di pojok, dekat pot tanah
liat berisi bunga asli berdaun hati. Bersisian dengan dinding kaca, membuat ia
leluasa melihat pemandangan di seberang mal. Pelayan menghampiri dan
mengulurkan daftar menu. Ia memesan segelas cappucino panas dan muffin. Silk
Road Kitaro mengalun lembut ketika pandangannya menembus dinding kaca.Hujan
makin lebat. Sampah menyumbat got. Air meluap membentuk aliran sungai kecil.
Pengendara motor menyerobot jalan, melindas kubangan-kubangan air. Seorang
perempuan mengumpat, blousenya basah terciprat air kotor.
Semua telah berubah, pikirnya. Kafe tempatnya
duduk sekarang hanyalah sebagian kecil dari pemukiman yang telah berganti
bangunan megah bernama mal. Ia pernah berada di pemukiman seberang mal bersama
keluarganya. Sebelum tahun-tahun lewat meninggalkan jejak luka pekat dan sesal
memburunya. Pelayan datang mengantarkan menu pesanannya.Ia menepikan tangan
memberi tempat untuk segelas cappucino panas dan piring kecil muffin.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada
pelayan, ia tak membiarkan aroma cappucino panas menggodanya lebih
lama.Beberapa tegukan membuat tubuhnya sedikit menghangat. Matanya kembali
menembus dinding kaca. Bocah laki-laki pembawa payung berdiri di seberang
jalan. Payung dibiarkan menguncup dan kepala mungil itu mendongak menatap kafe.
Buru-buru ia membuang pandang,mengatur detak jantungnya yang makin cepat lalu
mengiris muffin. "Kenapa sesal tak segera membunuhku?" keluhnya
lirih. Ada
melata yang menggeliat di ulu hatinya. Gigitan taring berbisa menimbulkan rasa
pedih dan mual silih berganti. Ia mengerang mencengkeram perutnya. Mata bocah
laki-laki itu masih tajam menatapnya. ***
Alifa kecil tak pernah menyukai hujan bulan
Februari. Banyak hal terenggut dari hidupnya pada hujan bulan Februari. Banjir
pernah menenggelamkan permukiman tempatnya tinggal. Kelinci putih kesayangannya
mati terseret arus. Alifa menangis berjam-jam melihat tubuh kelincinya basah
dan membeku di selokan ujung gang. Usai banjir,ia mengubur kelincinya di
belakang rumah dan mengunjungi setiap pulang sekolah. Sahabat dekatnya juga
pergi pada hujan bulan Februari. Kapal yang ditumpangi sepulang mengunjungi
neneknya tenggelam.
Jasadnya tak ditemukan. Alifa tak tahu ke
mana mencari perkuburan sahabatnya. Lalu ayah dan ibunya mengajaknya ke
laut.Berdoa dan menabur bunga sebagai tanda duka cita. Tetapi,Ayah dan Ibunya
sangat menyukai hujan bulan Februari.Pada penghujung bulan basah itu bayi
laki-laki lahir dari rahim ibunya.Orang-orang begitu heboh. Mereka berdatangan
membawa bermacam-macam hadiah. Memandang bayi mungil itu dengan mata berbinar.
Aduh, gantengnya putramu, selamat-selamat! Dia akan menjadi mataharimu. Kata
orang-orang itu. Semua bersukacita.
Kelahiran bayi laki-laki seolah membawa
sejuta tuah. Dan Alifa merasa tersisih. "Lihat Ruru! Mereka hanya
memedulikan Bara!" Alifa mengadu pada boneka beruang dalam pelukannya.
"Mereka tak menyayangiku lagi!" Bayi laki-laki itu bernama Bara. Ada sesuatu yang
menggeliat dalam dada Alifa setiap melihat sosok Bara. Seharusnya ia menyayangi
adiknya. Tetapi sesuatu yang menggeliat itu mengatakan sebaliknya.
Alifa tak suka Bara menggeliat manja di
pelukan ibu. Alifa tak suka ayah mengangkat tinggi-tinggi tubuh Bara. Dan Alifa
tak suka nenek mengajak Bara bercanda. "Alifa, ambilkan celana adik di
kamar belakang!" "Alifa, belikan biskuit untuk adik!"
"Alifa, tolong jaga adik sebentar!" Alifa cemberut. "Lihat Ruru!
Bara membuat semua orang menyuruhku!" Boneka beruang itu memandang Alifa
tanpa berkedip. Hingga Alifa berteriak. "Aku benci hujan Februari! Aku
benci Bara!" ***
Kubangan-kubangan makin penuh air dan
kemacetan mulai menggila. Apa yang berbeda dari hujan bulan Februari? Ia
mendesah, mendongak menatap langit- langit kafe.Kecuali mal yang berdiri angkuh
merenggut semua resapan air. Seorang pemuda melangkah memasuki kafe. Berkulit
sawo matang, jangkung dan berambut lurus. Jaket hitam membungkus baju seragam
sekolahnya. "Mungkin pulang sekolah dan terjebak macet," tebaknya.
Pemuda itu mengambil meja di sebelahnya. Memanggil pelayan dan memesan sejumlah
menu. Berapa umur pemuda itu? Enam belas atau tujuh belas? Jika demikian, ia
kelihatan lebih dewasa dari umur sesungguhnya. Gerak-geriknya tanpa canggung
dan ia tidak ke kafe bersama kelompoknya.
Mungkin pemuda itu lebih suka melakukan
segala sesuatunya seorang diri. "Seharusnya ia sudah sebesar pemuda
itu," bisiknya. "Dan mungkin akan tampak dewasa seperti itu. Bukankah
sejak kecil ia sangat mandiri?" Matanya bersirobok dengan tatapan pemuda
itu. Ia membuang pandang menembus dinding kaca. Di seberang mal, bocah pembawa
payung berlari-lari kecil mengejar si penyewa payung. Ia merasa pipinya mulai
basah. Melata di ulu hatinya menggeliat, taring-taringnya kembali menghunjam
lebih dalam. "Kumohon, bunuhlah aku sekarang juga," rintihnya. ***
Bara kecil tumbuh sehat. Kulitnya sawo
matang, rambutnya tebal berponi dan matanya bulat jernih. Semua orang menyukai
Bara.Alifa tahu itu.Bara yang mandiri dan tak suka merepotkan pembantu. Bara
yang jago matematika.Bara yang selalu juara kelas.Bara yang selalu menghibur
ayah dan ibu dengan leluconnya. Segala tentang Bara adalah kebanggaan.Alifa
tahu itu. "Mengalahlah sedikit pada adikmu Alifa! Kau sudah besar!"
"Kau selalu memulai keributan, Alifa!"
"Menyingkirlah sana ! Biarkan adikmu sendiri!" Alifa
mencoba menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya dengan berbuat nakal. Ia
berharap orang-orang akan mengembalikannya pada posisi sebelum ada Bara.Tetapi
itu adalah kesalahan.Tak ada yang tertarik dengan kenakalan Alifa. Tak ada yang
simpati dengan kelakuan Alifa. Dan Bara selalu menang.Akhirnya Alifa tahu satu
hal. Ia tak akan pernah kembali ke posisi sebelum ada Bara. Maka Alifa semakin
membenci hujan bulan Februari. Tak hanya semua kesayangannya terenggut hujan
bulan Februari tetapi juga dirinya. Ia merasa terampas.
Alifa kemudian memilih menyendiri di
kamarnya. Berbicara pada Ruru.Ayah dan ibu menganggap Alifa baik-baik
saja.Ah,hanya siklus hormonal masuk usia remaja, begitu pikir Ayah dan Ibu.
"Alifa, temani adikmu main di luar!" perintah Ibu. Hujan bulan
Februari datang lagi. Alifa cemberut. Kenapa Ibu tak pernah mengerti bahwa ia
tak suka hujan bulan Februari? Musim hujan begini, Alifa lebih suka mendekap
Ruru sambil mendengarkan musik di kamar. "Dingin Bu, aku malas."
"Ayolah! Kau harus mencoba hal-hal menyenangkan di luar rumah. Jangan
memeluk boneka beruangmu terus, ia tak bisa memberimu pengetahuan."
Alifa bangkit dari duduk ketika Bara berlari
ke halaman. Ia harus menemani anak itu kalau tak ingin ibunya ngomel sepanjang
hari.Di luar langit gelap.Gerimis mulai turun rintik-rintik. Alifa menyambar
payung dan mengikuti langkah Bara bergabung dengan teman-teman kecilnya. Bocah
tujuh tahun itu berlari-lari kecil.Alifa terus mengikuti adiknya. Tiga jam
berlalu dan Bara masih bermain. Alifa menepi di depan proyek pembangunan sebuah
mal,melihat adiknya dari sana .
Langit membabi buta menumpahkan hujan.
Beberapa anak telah dijemput ibunya. Tinggal
Bara bermain bola di genangan air yang meninggi.Tiba-tiba air datang
bergulung-gulung dari arah sungai. Seharusnya Bara masih sempat menepi, jika
Alifa menginginkannya.Tetapi ada sesuatu yang menggeliat dalam dada Alifa.
Sesuatu yang menginginkan hal sebaliknya. Alifa berdiri beku di bawah payung.
Alifa melihat air datang bergulunggulung. Alifa melihat orang-orang menjerit
menunjuk ke arah Bara.Alifa melihat bola adiknya menjauh terbawa arus.
Alifa mendengar suara Bara memanggilnya. Dan
Alifa melihat tangan mungil Bara menggapai-gapai ke udara. Makin menjauh, lalu
lenyap tanpa jejak. Tiga hari kemudian, jasad Bara ditemukan di selokan ujung
gang. Persis kelinci putih kesayangan Alifa. Ibu menangis bertahun-tahun.Sampai
air mata dan tubuhnya kering, lalu meninggal setahun setelah Bara hanyut. Ada
yang merambat perih di dada Alifa.Sesal yang memburu.
Setiap saat hampir membunuhnya.
"Sekarang tinggal kita berdua Alifa," kata ayahnya tersendat. Alifa
tak kuasa menahan sesal. Rumahnya meninggalkan banyak bayangan Bara. Alifa
memutuskan kuliah di kota lain, meninggalkan ayahnya sendiri. Mungkin, Alifa
tak akan pernah pulang ke kotanya. Dan itulah yang terjadi bertahun-tahun
kemudian. Alifa menghapus semua jejak yang dapat dilacak ayahnya. ***
Taring melata itu menancap kian hebat. Ulu
hatinya mulai berdarah. Ia menikmati rasa sakit itu.Wajahnya seputih kapas,
namun ia masih membeku menatap pemukiman seberang mal. Apakah lelaki itu masih
di sana? Menunggu kepulangannya? Tangannya tak bergerak mencari obat pereda
sakit dalam tasnya. Ia ingin mati saat ini. Air di jalanan mulai
meninggi.Aliran sungai dan kubangan menyatu. Orangorang menepi,meninggalkan
mobil atau motornya yang tenggelam. Banjir semakin hebat ketika
bergulung-gulung air datang dari arah sungai.
"Mbak, kafe akan segera ditutup. Banjir
datang lagi," kata pelayan sopan. Ia menyapukan pandangan ke seluruh
ruangan kafe. Pemuda berjaket hitam tak ada lagi di meja sebelah. Semua
pengunjung telah pergi.Perlahan ia bangkit dari duduknya, berjalan keluar kafe
menuju lift. Semua orang menyelamatkan diri ke lantai atas. Tetapi ia memencet
tombol bertanda turun. Ia ingin menyongsong air yang bergulung. Menemui Bara.
***
Telaga Sarangan, 5.2.07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar