Republika
Minggu, 18 Mei 2008
IBU
Cerpen: Herman
"Setiap hari kau pegang kertas dan
pensil itu, siang, malam, tiada hentinya. Untuk apa? Apa kau kira kertas itu
dapat kau makan? Kau katakan kau bisa mencari makan dengan pensilmu, mana?!
Yang kulihat masih nasi yang kutanak juga yang kau makan."
Begitulah Ibu menggurutu setiap melihat aku
mencoret-coret kertas. Aku tak marah, tidak sekali pun. Meski terkadang Ibu
merepet ketika aku sedang menghadap piring nasi. Padahal ayah pernah melarang,
jangan memarahi anak ketika dia sedang makan. Tapi Ibu tetap melakukannya
padaku. Bahkan pernah lebih pedas lagi kepadaku. Ibu pernah mengancam akan
mengusirku jika masih saja menulis dari pada mencari kerja.
"Lebih baik kau cari kerja untuk
menabung agar kau bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi dari pada membuat
tumpukan kertas dalam kamar. Lebih baik kau tulis surat lamaran kerja. Kalau kau masih juga
menulis yang tiada artinya, lebih baik kau pergi saja dari rumah ini, karena
kau tidak lagi mendengar kata-kataku, ibumu, untuk apa kau kuberi makan!"
"Ibu, kelak jika aku jadi penulis besar,
aku akan dapat uang banyak." "Kelak! Kelak...! Kelak...! Kapan!?
Sampai kelak kau menyusul ayahmu ke liang kubur?! Terus kau akan mencoret-coret
kafanmu?! Apa itu yang kau harapkan dari tulisanmu?!"
"Ibu, aku memang tidak bisa berjanji,
tapi aku akan berusaha. Dan aku percaya kelak akan berhasil."
"Berhasil." Suara Ibu mengejekku.
"Iya, Ibu."
"Hei, kau bermimpi menjadi penulis.
Orang sepertimu, mau jadi penulis?" Ibu menyindirku. "Tunggu saja
tumbuh tanduk di kepala kucing betina. Kau kira ada yang membaca coretan
jelekmu itu?! Pantas saja sudah beribu koran yang terbit, semua tertera
namamu."
"Ibu, jangan mengejekku. Aku memang selalu mengirimkan tulisanku ke mediamassa , tak perduli mereka
memuatnya atau tidak. Tetapi aku yakin mereka pasti membacanya, hanya saja
mungkin belum sesuai dengan misi media itu. Bagiku, mereka sudah membaca
tulisanku, sudah cukup.
"Ibu, jangan mengejekku. Aku memang selalu mengirimkan tulisanku ke media
Dan ketika aku dapat menulis sesuatu, aku
puas. Karena hanya dengan menulis kita dapat mengingat, ibu. Andaikan hari ini
aku menulis tentang Ibu ketika marah, kelak jika Ibu tak marah lagi, aku pasti
sangat merindukannya. Tetapi jika aku menulis bagaimana Ibu memarahiku, muka
Ibu, kata-kata Ibu, tangan Ibu, langkah kaki Ibu, mata Ibu, bibir Ibu, semuanya
tentang Ibu ketika marah, akan ada yang aku ingat. Jika aku rindu Ibu marah,
aku tinggal melihat tulisanku tentang Ibu marah. Bukankah menulis itu sesuatu
yang mengasyikkan, Ibu?"
"Tak usah kau mengajari ibumu."
"Aku tidak mengajari Ibu. Aku hanya
katakan yang sebenarnya. Nah, coba Ibu ingat tentang kenangan Ibu bersama ayah
semasa sekolah dulu. Sukar 'kan ?
Kalau Ibu masih menyimpan surat
ayah, Ibu pasti mudah mengingat semua kata-kata ayah. Jika Ibu ingat ayah, Ibu
tinggal membuka suratnya, paling tidak rasa rindu Ibu pasti berkurang,"
ujarku manja seraya memeluk Ibu.
Saat itulah Ibu diam. Kulihat mata Ibu
bening. Tapi Ibu masih marah, karena kegemaran Ibu memang memarahiku, apalagi
setelah ayah meninggal. Kegemaran Ibu marah padaku semakin bertambah. Tapi aku
tak membalas marah, malahan aku akan berkata manja sambil membawa nama ayah.
Dan aku tahu, marah Ibu sebenarnya hanya karena ingin mendengar aku menyebut
masa-masa Ibu bersama ayah. Setiap selesai aku mengungkit masalah Ibu dengan
ayah, Ibu langsung diam.
Pandanganku seluas laut. Di hadapanku hanya
ada kehancuran. Gersang dan fana. Pohon-pohon kayu yang tercabut dari akarnya,
rumah-rumah dan gedung yang hanya terlihat pondasi, bangkai mobil yang hitam
dan karatan, lumpur dan kotoran yang mulai mengering. Daratan yang telah
menyatu dengan laut. Semua tampak seperti laut yang luas. Bau busuk yang sama
sekali tak pernah tercium, melintas di hidungku. Satu dua mayat masih
tersangkut di balik lumpur hitam.
Ibu, batinku, aku baru saja kembali melihat
kampung kita. Tapi tak kudapati kampung kita yang dahulu. Laut telah menyulap
kampung kita menjadi datar seluruhnya. Kemana engkau, Ibu? Selamatkah dirimu?
Atau adakah Ibu diantara mayat-mayat yang belum sempat diangkat para relawan
itu? Aku telah mencarimu di pos-pos pengungsian, tapi tak kudapati namamu dalam
daftar orang yang selamat.
Sekarang aku berdiri tepat di rumah kita,
Ibu. Tapi rumah kita hanya tersisa lantainya. Tak ada atap, tak ada dinding,
tak ada meja dan kursi kecil tempat aku makan dahulu. Juga tak ada kursi
panjang tempat Ibu duduk menampi beras sambil marah-marah kepadaku. Semuanya
hanya lumpur hitam. Ibu, lihat, di sebelah kamarmu itu. Seekor bangau sebesar
elang berdiri di reruntuhan jendela kamarmu. Bangau itu menatap ke arahku, Ibu.
Dia mengepakkan sayapnya. Bukankah engkau pernah bercerita tentang seorang ibu
yang berubah menjadi seekor bangau karena ingin melihat anaknya? Kata Ibu
cerita itu pernah terjadi zaman dahulu.
Lihat, Ibu, bangau itu menatapku terus.
Marahkah dia? Tapi bangau itu tak bersayap merah seperti dalam ceritamu. Apakah
dia tidak marah lagi? Sayapnya sangat putih, bersih. Ibu, engkaukah itu? Jika
benar, mengapa engkau tidak marah? Aku ingin Ibu marah. Aku rindu makian Ibu.
Mana suara Ibu yang selalu mengejekku dahulu? Atau Ibu sudah tahu kabar yang
kubawa pulang?
Ya, memang benar, aku baru pulang dari
Belanda. Sebulan yang lalu aku diundang oleh negeri Belanda karena tulisanku
yang menurut penilaian mereka berhak mendapat penghargaan. Menurut mereka tulisanku
sangat merdeka. Entah apa maksudnya, aku tidak mengerti. Mereka berpendapat,
tulisanku mampu mewakili suara orang-orang kampung kita, bahkan mampu mewakili
daerah kita keseluruhan. Karena itulah aku diundang ke negerinya dan diberi
penghargaan Free Word Award.
Sebulan yang lalu engkau lepas kepergianku di
Bandara dengan senyum. "Semoga kau berhasil, Nak." Katamu waktu itu.
Itu kali pertama Ibu memanggilku 'Nak' dengan kelembutan. Menurutmu aku telah
berhasil merubah coretan menjadi tulisan. Kala itu pula aku melihat Ibu
tersenyum manis ke arahku. Mungkin selama aku besar, itu adalah senyum
pertamamu yang kurasakan hangat. Aku tak pernah mengira jika juga menjadi
senyum terakhir Ibu.
Ibu, lihat bangau itu, dia mengepakkan
sayapnya ke arahku. Persis seperti lambaianmu ketika melepasku di Bandara. Aku
mendekati bangau itu, dia tak terbang. Kubelai sayapnya yang putih, kudekap
dalam pelukanku. Kurasakan sejuk sayapnya. Dan aku tertidur di sampingnya.
Perlahan kurasakan tubuhku terangkat sambil sayup-sayup terdengar suara,
"Dia masih hidup, sebaiknya kita bawa saja ke markas PMI." Setelah
itu aku tak tahu lagi. *** Untuk Azhari, penerima Free Word Award dari
Belanda, don't cry.
Menganalisis sudut pandangnya dong
BalasHapus😭😭
BalasHapus