Seputar
Indonesia
Minggu,
15 April 2007
Perempuan
Bernama N
Cerpen: Hermawan Aksan
"KAU janji akan bercerita tentang sebuah
kisah cinta. "Ah, kisah cinta sudah begitu banyak diceritakan orang."
"Ceritakanlah.Aku tak pernah bosan membaca kisah cinta."
"Baiklah. Mungkin ini akan menjadi bahan
cerita pendekku. Aku ingin bercerita tentang seorang tokoh wanita. Tapi tak
perlulah kau tahu nama lengkapnya, ya. Aku memang sengaja menyebutnya begitu,
demi privasinya. Kalau aku menyebut inisialnya yang benar, bukan tak mungkin
rahasianya akan terbongkar. Bisa saja namanya berhuruf awal A atau S.Aku pilih
N karena perempuan kita banyak sekali yang namanya berhuruf awal N.
Bukankah kita mengenal nama Nani, Nina,
Neneng, Novi , dan yang seperti itu? Tapi aku
juga memilih N karena bisa menjadi singkatan no name, bukan siapasiapa, atau
bisa siapa saja. Kalau aku memilih huruf Z, misalnya, tentu akan lekas ketahuan
karena nama yang berawal huruf Z sangat sedikit.Aku tak mau memilih huruf P
karena kok kesannya negatif atau apalah. Dia perempuan biasa-biasa saja, pada
mulanya. Maksudku, dia bukan perempuan yang dalam pandangan pertama membuat
lelaki jatuh cinta kalau kau masih percaya ada cinta pada pandangan pertama
atau yang seperti itu. Dia perempuan yang sederhana, sungguh.
Pakaiannya sederhana. Aku memang tak paham
tentang macam-macam harga busana, tapi aku yakin bajunya sederhana. Dia suka
mengenakan celana jins dan baju kaus lengan panjang. Tapi model celananya
bukanlah model yang memberikan kesempatan bagi sebagian pinggang bawah untuk
menyembul menyambut tatapan tak senonoh lelaki. Rambutnya selalu dibiarkan
tergerai hingga melewati bahu dan ada warna sedikit kemerahan di sana .
Aku sangat menyukai rambutnya. Sedikit warna
merah itu memberikan semacam kesan eksotis.Apa pun artinya itu. Nah, lelaki itu
‘biarkan aku tak memberinya nama’ mengenal si perempuan pada sebuah acara
diskusi buku di CCF, pusat kebudayaan Prancis, Jalan Purnawarman, ketika di
luar turun gerimis yang membasah. Ia tidak dengan sengaja berkenalan, atau yang
seperti itu. Lelaki itu bukan macam lelaki yang senang menggoda perempuan,atau
bisa dengan segera memikat lawan jenisnya, atau apalah.
Mereka kebetulan saja duduk bersebelahan di
barisan paling belakang. Namun, apakah benar-benar sebuah kebetulan, entahlah.
Mungkin Tuhan sudah mengatur semua sisi kehidupan sampai sekecil-kecilnya
sehingga ketika lelaki itu duduk, di sebelahnya sudah duduk seorang perempuan.
Waktu itu berlangsung diskusi buku karya Andrea Hirata.Sebuah novel baru oleh
pengarang baru yang menggemparkan. Kontroversial, sekaligus laris di pasaran.
Pembicaranya adalah dua orang kritikus yang
tak asing lagi di jagat sastra kita: Jakob Sumardjo, mewakili generasi senior,
dan Hawe Setiawan, mewakili generasi (yang lebih) muda. Moderatornya adalah
perempuan pengarang yang cantik dengan rambut yang selalu berkerudung anggun,
Nenden Lilis Aisyah. Tidak seperti diskusi-diskusi buku selama ini, diskusi
buku yang satu ini dipadati pengunjung. Aneh juga. Biasanya diskusi buku apa
pun ‘bahkan buku hebat macam The Name of the Rose karya Umberto Eco’ hanya
dihadiri tak lebih dua puluh orang.
Kali ini pengunjung banyak yang sampai
berdiri. Kursi yang berjumlah lebih dari seratus semuanya terisi. Mungkin
karena di sana
berkumpul juga para dewa sastra yang selama ini memenuhi halaman-halaman media massa situs-situs sastra.
Sebutlah nama yang ada di kepalamu, semuanya ada di sana . Kurnia Effendi, Sapardi Djoko Damono,
Nirwan Dewanto, Soni Farid Maulana, Akmal Nasery Basral, Eka Kurniawan, Aam
Amilia, Tetet Cahyati, Senny Alwasilah, Lan Fang, Endah Sulwesi, Hernadi
Tanzil, dan sebagainya.
Karena lelaki itu bukanlah siapasiapa,
melainkan seorang penulis yang sedang-sedang saja, ia lebih suka duduk di
deretan belakang.Namun ternyata ia bersebelahan dengan perempuan yang bukan
sembarangan. Ia yakin usia perempuan itu sudah lewat empat puluh. Paling tidak
mendekati. Lima
atau enam tahun lebih tua darinya, kirakira. Namun sekilas perempuan itu
kelihatan beberapa tahun lebih muda.Entah apakah dia memang awet muda, entah
karena penerangan di gedung CCF tak bisa membuat wajahnya tampak jelas.
Keremangan memang selalu menyamarkan
garis-garis usia. Ia langsung mengenal si perempuan karena,sekali lagi
kukatakan,dia bukan perempuan biasa. Dia penulis terkenal dan si lelaki,yang
juga penggemar buku, sudah membaca beberapa bukunya. Juga beberapa cerita
pendeknya yang kerap menghiasi halaman-halaman budaya media massa . "Saya suka karya-karya Mbak
N," kata lelaki itu. "O ya? Terima kasih sudah mau baca. Apa yang kau
suka?" "Cerita-cerita yang Mbak bikin selalu berkisah tentang
indahnya cinta dari sudut yang tak terduga."
"Ah, kamu mengada-ada. Karyaku belum
apa-apa, bahkan dibanding pengarang baru macam Andrea." "Mbak suka
karya Andrea?" "Dia memang mengagumkan.Setidaknya kalau dilihat bahwa
ini buku pertamanya. Juga kalau pengakuannya benar bahwa ia sebelumnya tak
pernah menulis apa pun, bahkan cerita pendek." "Tapi kata orang buku
ini kontroversial." "Ya, ada sejumlah data dan deskripsi yang tak
masuk akal, terutama karena si pengarang menyebut novelnya sebagai sebuah
memoar berdasarkan kisah nyata."
Si lelaki dan perempuan berinisial N itu
kemudian saling bertukar nomor telepon seluler. Kau tahu, seperti hasil
kemajuan teknologi macam apa pun, ponsel memang seperti pisau bermata ganda.
Ponsel memberi kita dua macam kemudahan: untuk berbuat baik dan berbuat tidak
baik. Lewat pesan singkat, N dan lelaki itu kerap berdiskusi tentang sastra,
tentang buku, tentang pergelaran seni. Tapi kemudian isi pesan bergeser ke arah
yang lebih pribadi. + Blh sy undang Mbak ktmu di Potluck? D sana kt bs diskusi bnyk ttg sastra. Di SMS
rsnya tlalu t’batas. - Knp tdk? Lalu keduanya bertemu di kafe yang sekaligus
perpustakaan itu.
Si lelaki memesan espresso dan si perempuan
cukup capuccino. Tak kurang dari tiga jam mereka bercakap-cakap di sudut dekat
jendela kaca. Mereka bercakap-cakap tentang buku yang tengah mereka
baca.Kebetulan, keduanya sama-sama tengah membaca Snow Flower karya Lisa See.
"Buku yang luar biasa.Untung di sini tak pernah ada tradisi mengecilkan
kaki seperti itu," kata si perempuan berinisial N. "Saya nyaris tak
bisa melanjutkan baca. Ngeri membayangkannya," timpal si lelaki.
Pada kesempatan lain, keduanya bertemu di
BMC, Jalan Aceh. Kali ini, entah siapa yang memulai, si lelaki berani memegang
jemari N. Mengeluselusnya. Pada saat-saat berikutnya, mereka bertemu di Dakken,
CCF, RM Ikan Bakar, dan lain-lain. Sesuatu tumbuh di dada si lelaki. Sebuah
perasaan yang telah lama hilang. Maksudku,telah lama tak dirasakannya. Ia
selalu mengingat perempuan berinisial N itu, setiap saat, setiap bangun tidur, tiap
berangkat ke kantor, tiap menjelang tidur, bahkan ia seperti selalu ingat meski
dalam mimpi. + Sy spt remaja lg. - Aku jg. + Mgkn sy jatuh cinta. - J + kt org ,jth
cnt bs mmbuat kt produktif brkarya. - ktk jth cnt, trcipta karya2 sastra. + sy
ign jth cnt tiap hr. - jth cnt lah. + sy jth cnt tiap hr pdmu. - J Dan
begitulah, si lelaki menjadi banyak menciptakan karya baru.
Meski pemicunya adalah rasa jatuh cinta,
karyanya tidak mendayu-dayu. Sebab, ia sebenarnya memiliki bakat yang memadai
untuk menjadi penulis yang baik. Namun, hubungan mereka tidak bisa abadi
seperti dalam syair-syair. Entah siapa yang memulai, mereka makin lama makin
jarang mengirim SMS, dan tentu saja kian jarang bertemu. Apa alasannya,
entahlah, sebab tak ada hubungannya dengan sebuah peristiwa penting, misalnya
tepergok oleh suami perempuan berinisial N itu. Yang pasti, hubungan mereka
baikbaik saja. Kadang-kadang mereka masih bertemu secara tak sengaja, misalnya
dalam sebuah diskusi. Biasanya, mereka duduk berdekatan, tetap berbincang
akrab, dan masih senang berpegangan tangan.
Apakah keduanya kemudian tak produktif lagi?
Ternyata, keduanya masih tetap menghasilkan karya kreatif yang baru. - kau msh
jth cnt? + apkh itu pntng? - J Nah, begitulah kisahku tentang cinta."
"Aku bisa menebak siapa perempuan itu." "Benarkah?"
"Siapa lagi perempuan penulis terkenal berambut kemerahan berinisial
N?" "Tapi dia belum tentu berinisial N." "Dia berinisial
N," katanya dengan bibir bergetar. Aku menatap istriku. Matanya basah.
"Bukankah itu sebuah pengakuan selingkuh? Bukankah lelaki itu adalah
kau?" "Sayang, itu tadi hanyalah sebuah cerita pendek." Dia
menggeleng. Air matanya menderas.***
Bandung,Maret 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar