Seputar
Indonesia
Minggu,
01 Juli 2007
Palsu
Cerpen: Dede Sulaeman
SUGENG menghampiri kawannya, Odeg, di pos
ronda sambil membawa potongan koran.
”Umur, tiga puluh. Tinggi, seratus enam puluh. Berat badan,lima puluh tujuh. Islam, SLTA, sabar, jujur,
setia, penyayang, perhatian, pengertian, apa adanya, sehat jasmani rohani,
senang musik, nyanyi, serius, siap nikah, Jakarta.Wajah, cantik dengan balutan
kulit kuning langsat. Proporsional.”
Sugeng langsung nyerocos di depan Odeg. ”Proporsional apanya?” tanya Odeg tak mengerti. ”Lihat!”Sugeng mengulurkan potongan koran yang dibawanya.Terpampang foto gadis proporsional yang Sugeng maksud. Odeg terlihat serius mengamati potongan koran itu. ”Bagaimana, cocok?” ”Untukku?” ”Dasar duda berjamur,”ejek Sugeng. ”Kalau sudah ngerasain kawin, kasih kesempatan yang muda, dong.” Sugeng menegaskan sambil mendorong kepala Odeg.
”Iya, bujangan basi.” Odeg membalas. ”Tapi jangan lupa, lihat tuh, dia menginginkan jejaka yang sudah bekerja. Bukan seperti kau.” Sugeng diam. Mati kutu. Lalu dia ngeloyor meninggalkan Odeg yang bengong. Beberapa saat Sugeng kembali ke pos ronda. Odeg masih duduk dengan asyiknya. Rokok kreteknya sudah tinggal beberapa senti, masih dihisapnya dalam- dalam. Asapnya mengepul keluar dari hidung dan mulutnya bergantian.
Bibirnya yang sudah legam mengembang begitu Sugeng kembali. ”Kenapa, Geng? Bukannya kau masih menganggur? Sudahlah. Sebaiknya kau cari kerja dulu. Cari cewek gampang. Asal kau punya duit, di jalanan banyak.” Odeg masih tersenyum puas. ”Itulah,Deg.Bukannya saya tak ingin bekerja. Kaukan tahu sendiri, di Jakarta, susah cari
kerja.Apalagi saya cuman lulusan SMA.Yang jelas, saya sekarang sudah ngebet
kepengen kawin.” Sugeng serius. Odeg tertawa lebar.
”Memangnya kau punya duit?” ”Tak.” Sugeng terlihat bingung. ”Mau kau kawin dengan kambing?” Odeg meledek. ”Tega benar kau, Deg.” ”Habisnya kau ada-ada saja. Kawin butuh duit banyak. Kecuali kau mau kawin dengan tadi itu?” ”Tadi yang mana?” Sugeng langsung menjitak kepala Odeg, sahabatnya sejak SD itu. Odeg semakin cekakakkan. ”Aku tak habis pikir.Kenapa persaingan diJakarta begitu ketat? Anak-anak daerah tumpah
ruah kemari.
Semua nyari kerja diJakarta .
Padahal apa hebatnya Jakarta ?
Sudah tahu sengsara di Jakarta ,
mereka masih betah saja di mari. Coba kau pikir, Deg!” ”Aku sendiri tak
mengerti.Aku lihat mereka rela tidur di pinggir-pinggir kios. Pulang
kampung,mungkin gengsi sebelum bawa motor dan duit banyak.” Odeg kini serius.
”Aku jadi pusing mikirnya,Geng.”
”Sudahlah.Tak usah serius kaupikirkan. Itu uruan mereka. Sekarang bagaimana kau bisa membantuku?” ”Kau masih penasaran dengan gadis itu?” ”Kau tahu caranya? ”Tak.” Odeg menirukan Sugeng. Odeg kembali nyengir. Giginya seperti dilapisi karat, berwarna coklat kekuning- kuningan. ”Masak.Kaukan sudah pengalaman. Memangnya dulu kau
juga punya uang?”
”Aku dulu modal nekad. Lagi pula aku kawin sama orang miskin. Samasama miskin.” ”Saya bisa juga kayak kau?” ”Kau mau modal nekad? Risiko gede. Bisa-bisa kau ditangkap polisi.” Sugeng kembali melihat potongan koran di tangannya. Lekat. ”Saya siap menanggung risiko, Deg.” ”Yakin?” Sugeng mengangguk pelan. ”Aku tak ikut-ikutan, ya.” ”Saya sendirian.” ”Benar?” ”Heeh,” suara Sugeng melemah.
”Kau sebenarnya takut, ya? Sudahlah, Geng. Kalau tak berani mendingan batalkan saja rencanamu itu. Aku sendiri tak terlalu yakin dengan tampangmu.” ”Memangnya?” Sugeng heran. ”Aku seperti melihat preman Pulo Gadung.” Odeg nyengir. ”Tega benar kau, Deg.” Beberapa saat keduanya terdiam. Odeg sendiri sepertinya masih menikmati tawanya. Sementara Sugeng asyik dengan hayalnya. ”Besok aku antar kau ke percetakan.”
”Lho.Memangnya ada hubungannya dengan rencana kita?” ”Apa?” ”Rencana saya.”Sugeng meyakinkan bahwa dialah yang akan bertanggungjawab, sendirian. ”Kau ajukan lamaran ke koran itu. Syarat-syaratnya kau palsukan. Bagaimana?” ”Bisa?” Sugeng tak percaya. ”Gampang. Urusan palsu memalsu, aku orangnya. Masalahnya kau masih berani?” ”Kau tak perlu bertanya begitu.Aku tampaknya sudah bulat.” ”Mata birahimu bulat?”
”Sembarangan kau, Deg. Saya ginigini lebih mengutamakan cinta. Kasih sayang.” ”Basi.Aku tahu apa motifmu.Masak, baru melihat di koran sudah cinta. Kau mau ikut-ikutan anak muda sekarang, memuja cinta dangkal.” ”Jangan kau samakan saya dengan mereka. Bagi saya, perempuan, harus sabar, taat suami. Itu saja modalnya.Ya, syukur-syukur cantik kayak gini.” Sugeng menunjukkan potongan koran lagi. ”Perempuan kayak gitu cuman ada di sinetron. Lagian itu cuman milik orang kaya, Geng. Nah, kita?
Paling-paling dapet yang jelek. Udah gitu cerewet lagi.” Sugeng diam. Dalam hati ia mengiyakan omongan Odeg. Tapi, ia begitu yakin dengan perempuan yang ada dalam potongan koran itu. ”Kayaknya kita tak usah perdebatkan lagi, Deg. Langsung saja kita beraksi.” ”Sepakat.”Balas Odeg mantap.”Tapi jangan lupa, kau harus bayar ongkos cetak surat-surat dan gaji ahli pemalsu dokumen,oke?!” ”Dasar kau mata duitan.Tak memandang teman lagi susah.”
”Eit, jangan salah.Jakarta
apa-apa bayar,Geng.Kencing saja seribu rupiah. Lagi pula aku kan pengangguran sekarang. Ya, anggap saja
ini proyek buatku.” ”Memangnya anggota dewan. Segala proyek lagi.” ”Alaah.Apa
kata kek.Yang penting mulutku bisa ngebul. Perut kenyang. Biar dunia sedikit
terang, Geng.” ”Oke, kalau gitu.” Sugeng sepakat dengan permintaan Odeg. * * *
SUGENG akhirnya berkenalan dengan perempuan itu. Ia merasa cocok dengan Sugeng. Perkenalannya diteruskan dengan jalan-jalan, menonton, dan liburan ke tempat wisata.Sugeng terpaksa meminjam uang kepada temantemannya. Odeg sudah teriak lantang, ”Aku tak punya duit, Geng.” Sugeng tak kehilangan akal. Dia meminjam ke beberapa temannya yang lain. Walhasil, Sugeng asyik-asyikan dengan Gina, perempuan dalam potongan koran itu.
Tibalah saatnya masalah besar menghampiri Sugeng yang sedang mengecap kebahagiaan bersama Gina. Sebentar lagi ia harus melamar gadis itu.Otaknya berputar mencari celah yang bagus untuk rencananya. Buntu. Sama sekali tak ada solusi. Odeg sudah tak mau terlibat lagi dengan urusannya. ”Bang. Sebaiknya kita segera merencanakan lamaran. Orang tuaku sudah tak sabar lagi ingin segera menggendong cucu. Aku sendiri sudah tak betah lagi lajang.
Bagaimana pendapat Abang?” Gina membuka pembicaraan saat Sugeng bertandang ke rumahnya. Yang ditanya malah tertunduk. Sugeng tak menemukan kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. ”Bang?” Gina heran dengan tingkah Sugeng. ”Abang masih bingung, Dek.” ”Bingung? Tak ada yang harus dibingungkan, Bang. Tampaknya kita sudah cocok.” ”Bukan soal itu, Dek.” ”Lalu?” ”Abang berat mengatakannya.” ”Katakan, Bang.” ”Abang... terus terang.” ”Terus terang!” ”Tak ada uang.” ”Jadi?” ”Abang bohong.” ”Sarjana? Kerja di kantor?” ”Palsu.” ”Abang anggap aku palsu.”
”Sama sekali tak bermaksud itu.” ”Sudah, Bang.” Gina cepat beranjak menuju kamarnya. Sugeng sama sekali tak dihiraukannya. Semburat wajahnya mendung merundung. Ia langsung menghempas tubuhnya di atas seprei ungu bermotif mawar merekah, seolah ingin menghiburnya. Sepenuh muka dibenamkan.Air mata tumpah tertadah bantal. Ia menangis sejadinya. Sugeng pasrah. Perasaannya pada Gina berangsur pudar. Hati kecil masih tertanam sayang melayang.
Sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya. Ia harus menerima kenyataan. Sugeng masih terpaku entah oleh apa? Dari balik kamar,Gina muncul masih dengan isaknya. Ia kembali duduk berhadapan dengan Sugeng. ”Bang.” Pendar suaranya menghempas hati Sugeng serupa gelombang di Pantai Selatan.Yang disapa tertunduk beku. ”Kenapa abang tega?” ”Tak bermaksud itu, Dek.” ”Bermaksud apa?” ”Abang begitu tertarik sejak melihat adek di koran.” ”Betul begitu?” ”Heeh.”
Di sela mata Gina tumpah semburat air menghangat.Tampaknya, sedih karena kecewa berganti haru membiru di langit hati. Beberapa saat Sugeng tertegun pasrah. Gina membenahi wajah supaya tak terlihat kusut. Sapu tangan unggu disentuhkan beberapa kali pada bagian pipi dan matanya. Cahaya memancar dari balik wajah anggun itu. Gina memang sudah sangat dewasa. Terlihat dari cara menguasai diri. ”Bang. Gina percaya.” ”Maksud adek?” ”Abang tak perlu memikirkan biaya.”
Gina akhirnya menerima kenyataan bahwa laki-laki di hadapannya memang betul-betul tulus. Semua biaya lamaran dan rencana pernikahan ditanggung Gina. Sugeng bengong, tak percaya dengan apa yang terjadi. Dia tak bereaksi. Dia tak tahu kata apa yang tepat untuk diucapkan. Bibirnya rapat. * * *
SUGENG menikah hari senin.Waktu yang telah dihitung tepat.Tampaknya tak ada halangan lagi bagi Gina dan orang tuanya. Pukul sembilan Sugeng akan melapalkan akad nikah. Sugeng masih seperti tak yakin dengan apa yang akan terjadi. Perasaan Sugeng datar. Seperti tak akan mengalami sesuatu yang bersejarah dalam hidupnya.Hanya air matanya meleleh. Entah sedih atau bahagia.
Pukul delapan pagi itu polisi menangkap Sugeng. Pihak koran ternyata mengungkap kepalsuan dokumen yang diajukan Sugeng. Sugeng digelandang polisi untuk diperiksa lebih lanjut. Sugeng divonis bersalah dengan tuduhan pemalsuan. Dia dijebloskan ke penjara. Dia hanya menggenggam erat perasaannya pada Gina sampai nanti ke luar dari sel. Dan Gina sudah menggendong anak dari suami yang lain. ***
Ciputat, Mei 2007
”Umur, tiga puluh. Tinggi, seratus enam puluh. Berat badan,
Sugeng langsung nyerocos di depan Odeg. ”Proporsional apanya?” tanya Odeg tak mengerti. ”Lihat!”Sugeng mengulurkan potongan koran yang dibawanya.Terpampang foto gadis proporsional yang Sugeng maksud. Odeg terlihat serius mengamati potongan koran itu. ”Bagaimana, cocok?” ”Untukku?” ”Dasar duda berjamur,”ejek Sugeng. ”Kalau sudah ngerasain kawin, kasih kesempatan yang muda, dong.” Sugeng menegaskan sambil mendorong kepala Odeg.
”Iya, bujangan basi.” Odeg membalas. ”Tapi jangan lupa, lihat tuh, dia menginginkan jejaka yang sudah bekerja. Bukan seperti kau.” Sugeng diam. Mati kutu. Lalu dia ngeloyor meninggalkan Odeg yang bengong. Beberapa saat Sugeng kembali ke pos ronda. Odeg masih duduk dengan asyiknya. Rokok kreteknya sudah tinggal beberapa senti, masih dihisapnya dalam- dalam. Asapnya mengepul keluar dari hidung dan mulutnya bergantian.
Bibirnya yang sudah legam mengembang begitu Sugeng kembali. ”Kenapa, Geng? Bukannya kau masih menganggur? Sudahlah. Sebaiknya kau cari kerja dulu. Cari cewek gampang. Asal kau punya duit, di jalanan banyak.” Odeg masih tersenyum puas. ”Itulah,Deg.Bukannya saya tak ingin bekerja. Kau
”Memangnya kau punya duit?” ”Tak.” Sugeng terlihat bingung. ”Mau kau kawin dengan kambing?” Odeg meledek. ”Tega benar kau, Deg.” ”Habisnya kau ada-ada saja. Kawin butuh duit banyak. Kecuali kau mau kawin dengan tadi itu?” ”Tadi yang mana?” Sugeng langsung menjitak kepala Odeg, sahabatnya sejak SD itu. Odeg semakin cekakakkan. ”Aku tak habis pikir.Kenapa persaingan di
Semua nyari kerja di
”Sudahlah.Tak usah serius kaupikirkan. Itu uruan mereka. Sekarang bagaimana kau bisa membantuku?” ”Kau masih penasaran dengan gadis itu?” ”Kau tahu caranya? ”Tak.” Odeg menirukan Sugeng. Odeg kembali nyengir. Giginya seperti dilapisi karat, berwarna coklat kekuning- kuningan. ”Masak.Kau
”Aku dulu modal nekad. Lagi pula aku kawin sama orang miskin. Samasama miskin.” ”Saya bisa juga kayak kau?” ”Kau mau modal nekad? Risiko gede. Bisa-bisa kau ditangkap polisi.” Sugeng kembali melihat potongan koran di tangannya. Lekat. ”Saya siap menanggung risiko, Deg.” ”Yakin?” Sugeng mengangguk pelan. ”Aku tak ikut-ikutan, ya.” ”Saya sendirian.” ”Benar?” ”Heeh,” suara Sugeng melemah.
”Kau sebenarnya takut, ya? Sudahlah, Geng. Kalau tak berani mendingan batalkan saja rencanamu itu. Aku sendiri tak terlalu yakin dengan tampangmu.” ”Memangnya?” Sugeng heran. ”Aku seperti melihat preman Pulo Gadung.” Odeg nyengir. ”Tega benar kau, Deg.” Beberapa saat keduanya terdiam. Odeg sendiri sepertinya masih menikmati tawanya. Sementara Sugeng asyik dengan hayalnya. ”Besok aku antar kau ke percetakan.”
”Lho.Memangnya ada hubungannya dengan rencana kita?” ”Apa?” ”Rencana saya.”Sugeng meyakinkan bahwa dialah yang akan bertanggungjawab, sendirian. ”Kau ajukan lamaran ke koran itu. Syarat-syaratnya kau palsukan. Bagaimana?” ”Bisa?” Sugeng tak percaya. ”Gampang. Urusan palsu memalsu, aku orangnya. Masalahnya kau masih berani?” ”Kau tak perlu bertanya begitu.Aku tampaknya sudah bulat.” ”Mata birahimu bulat?”
”Sembarangan kau, Deg. Saya ginigini lebih mengutamakan cinta. Kasih sayang.” ”Basi.Aku tahu apa motifmu.Masak, baru melihat di koran sudah cinta. Kau mau ikut-ikutan anak muda sekarang, memuja cinta dangkal.” ”Jangan kau samakan saya dengan mereka. Bagi saya, perempuan, harus sabar, taat suami. Itu saja modalnya.Ya, syukur-syukur cantik kayak gini.” Sugeng menunjukkan potongan koran lagi. ”Perempuan kayak gitu cuman ada di sinetron. Lagian itu cuman milik orang kaya, Geng. Nah, kita?
Paling-paling dapet yang jelek. Udah gitu cerewet lagi.” Sugeng diam. Dalam hati ia mengiyakan omongan Odeg. Tapi, ia begitu yakin dengan perempuan yang ada dalam potongan koran itu. ”Kayaknya kita tak usah perdebatkan lagi, Deg. Langsung saja kita beraksi.” ”Sepakat.”Balas Odeg mantap.”Tapi jangan lupa, kau harus bayar ongkos cetak surat-surat dan gaji ahli pemalsu dokumen,oke?!” ”Dasar kau mata duitan.Tak memandang teman lagi susah.”
”Eit, jangan salah.
SUGENG akhirnya berkenalan dengan perempuan itu. Ia merasa cocok dengan Sugeng. Perkenalannya diteruskan dengan jalan-jalan, menonton, dan liburan ke tempat wisata.Sugeng terpaksa meminjam uang kepada temantemannya. Odeg sudah teriak lantang, ”Aku tak punya duit, Geng.” Sugeng tak kehilangan akal. Dia meminjam ke beberapa temannya yang lain. Walhasil, Sugeng asyik-asyikan dengan Gina, perempuan dalam potongan koran itu.
Tibalah saatnya masalah besar menghampiri Sugeng yang sedang mengecap kebahagiaan bersama Gina. Sebentar lagi ia harus melamar gadis itu.Otaknya berputar mencari celah yang bagus untuk rencananya. Buntu. Sama sekali tak ada solusi. Odeg sudah tak mau terlibat lagi dengan urusannya. ”Bang. Sebaiknya kita segera merencanakan lamaran. Orang tuaku sudah tak sabar lagi ingin segera menggendong cucu. Aku sendiri sudah tak betah lagi lajang.
Bagaimana pendapat Abang?” Gina membuka pembicaraan saat Sugeng bertandang ke rumahnya. Yang ditanya malah tertunduk. Sugeng tak menemukan kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. ”Bang?” Gina heran dengan tingkah Sugeng. ”Abang masih bingung, Dek.” ”Bingung? Tak ada yang harus dibingungkan, Bang. Tampaknya kita sudah cocok.” ”Bukan soal itu, Dek.” ”Lalu?” ”Abang berat mengatakannya.” ”Katakan, Bang.” ”Abang... terus terang.” ”Terus terang!” ”Tak ada uang.” ”Jadi?” ”Abang bohong.” ”Sarjana? Kerja di kantor?” ”Palsu.” ”Abang anggap aku palsu.”
”Sama sekali tak bermaksud itu.” ”Sudah, Bang.” Gina cepat beranjak menuju kamarnya. Sugeng sama sekali tak dihiraukannya. Semburat wajahnya mendung merundung. Ia langsung menghempas tubuhnya di atas seprei ungu bermotif mawar merekah, seolah ingin menghiburnya. Sepenuh muka dibenamkan.Air mata tumpah tertadah bantal. Ia menangis sejadinya. Sugeng pasrah. Perasaannya pada Gina berangsur pudar. Hati kecil masih tertanam sayang melayang.
Sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya. Ia harus menerima kenyataan. Sugeng masih terpaku entah oleh apa? Dari balik kamar,Gina muncul masih dengan isaknya. Ia kembali duduk berhadapan dengan Sugeng. ”Bang.” Pendar suaranya menghempas hati Sugeng serupa gelombang di Pantai Selatan.Yang disapa tertunduk beku. ”Kenapa abang tega?” ”Tak bermaksud itu, Dek.” ”Bermaksud apa?” ”Abang begitu tertarik sejak melihat adek di koran.” ”Betul begitu?” ”Heeh.”
Di sela mata Gina tumpah semburat air menghangat.Tampaknya, sedih karena kecewa berganti haru membiru di langit hati. Beberapa saat Sugeng tertegun pasrah. Gina membenahi wajah supaya tak terlihat kusut. Sapu tangan unggu disentuhkan beberapa kali pada bagian pipi dan matanya. Cahaya memancar dari balik wajah anggun itu. Gina memang sudah sangat dewasa. Terlihat dari cara menguasai diri. ”Bang. Gina percaya.” ”Maksud adek?” ”Abang tak perlu memikirkan biaya.”
Gina akhirnya menerima kenyataan bahwa laki-laki di hadapannya memang betul-betul tulus. Semua biaya lamaran dan rencana pernikahan ditanggung Gina. Sugeng bengong, tak percaya dengan apa yang terjadi. Dia tak bereaksi. Dia tak tahu kata apa yang tepat untuk diucapkan. Bibirnya rapat. * * *
SUGENG menikah hari senin.Waktu yang telah dihitung tepat.Tampaknya tak ada halangan lagi bagi Gina dan orang tuanya. Pukul sembilan Sugeng akan melapalkan akad nikah. Sugeng masih seperti tak yakin dengan apa yang akan terjadi. Perasaan Sugeng datar. Seperti tak akan mengalami sesuatu yang bersejarah dalam hidupnya.Hanya air matanya meleleh. Entah sedih atau bahagia.
Pukul delapan pagi itu polisi menangkap Sugeng. Pihak koran ternyata mengungkap kepalsuan dokumen yang diajukan Sugeng. Sugeng digelandang polisi untuk diperiksa lebih lanjut. Sugeng divonis bersalah dengan tuduhan pemalsuan. Dia dijebloskan ke penjara. Dia hanya menggenggam erat perasaannya pada Gina sampai nanti ke luar dari sel. Dan Gina sudah menggendong anak dari suami yang lain. ***
Ciputat, Mei 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar