Suara
Merdeka
Minggu,
18 Mei 2008
Harkitnas
Cerpen: Putu Wijaya
ALI bangun tiba-tiba. Jam masih menunjuk ke
angka 2. Saat semua orang baru masuk ke jantung lelap yang paling dalam. Satu
dua kendaraan masih kedengaran mendengus jauh di jalanan. Tetapi Jakarta yang
sibuk dan gelisah, nampaknya sudah berbaring melepas lelah. Mengambil napas
untuk mendengus lagi dengan keriuhan dalam panas terik, debu dan hiruk-pikuk
metropolitan.
“Bangun, bangun, bangun semua!” kata Ali
dengan suara keras membangun seluruh isi rumah.
Suara Ali keras mengejutkan beberapa ekor
cicak yang sedang berburu nyamuk di dinding. Tetapi semua yang tidur tetap tak
bergerak. Istrinya, anaknya, neneknya dan pembantunya, juga seorang anak
tetangga yang keasyikan main, nampak berbaring lena.
Ali mencoba lagi. Sekali ini disertai dengan
gebrakan pada meja.
“Bangun! Bangun! Bangun!”
Suara Ali yang cempreng, tercekik, tinggi
jelek menyakitkan, membelah meretakkan kesunyian. Tetapi suara itu bahkan
seperti musik yang tambah menyemplungkan semua yang tidur untuk jatuh ke
lubangnya dengan lebih terperosok lagi. Pembantu yang tertidur di depan
televisi malah ngelindur.
“Terus, terus, terus!”
Ali jadi senewen. Ia cepat menyalakan lampu.
Seluruh ruangan menjadi terang-benderang
bagaikan teriakan yang lantang dalam malam yang gelap-gulita itu, karena para
tetangga semuanya memadamkan listrik akibat ancaman tarif listrik yang baru.
Perut rumah kelihatan berantakan. Anak-anak tidur di lantai. Istri Ali hampir
jatuh dari balai-balai karena ditendang oleh kaki anaknya yang paling kecil.
Tapi sambil tidur tangannya masih sempat terjulur menahan badannya. Ruang tamu
yang kecil itu serasa tong sampah manusia.
Ali membentak sekalian menggebrak.
“Bangunnnnnnnnnn!”
Pembantu yang ngelindur itu menjawab.
“Terus, terus, terus ...”
Ali mulai senewen. Ia menghidupkan televisi
dan radio keras-keras. Suara itu langsung memenuhi ruangan lalu terlontar
keluar rumah, menyerbu keheningan para tetangga. Berserak juga ke pos
penjagaan.
Satpam yang sedang main domino untuk mencoba
mengubah nasibnya secara kecil-kecilan, paling tidak untuk belanja sari hari
besok, tak menoleh.
“Ada
apa lagi pak Ali ini?” kata salah seorang dari mereka.
Tidak ada yang tertarik untuk berdiri dan
menghampiri rumah Ali. Mereka malah merasa ditolong, karena suara itu
sekan-akan menggantikan tubuh mereka yang ronda setiap empat jam sekali.
Ali tercengang oleh kebebalan seisi rumah.
Lalu ia masuk ke kamar mandi dan membuka semua kran. Beberapa buah kran mucrat
dengan tajamnya mengebor air dalam bak. Bunyinya berisik riuh. Kucing yang
tertidur di bawah kursi terkejut, lalu ia mondar-mandir dengan gelisah. Tetapi
penghuni rumah, masih terpaku dengan harga mati.
“Bangunnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!”
teriak Ali kalap, karena sudah tidak tahan lagi menghadapi kebekuan yang
mengerak itu.
Anak Ali yang paling kecil terbangun. Ia
memekik terkejut, lalu menangis. Jeritnya menyelusup di keributan kamar
menggapai ibunya. Lalu tangan ibunya bergerak membuka kutang dan menarik kepala
anaknya untuk menetek, tapi dengan sama sekali tidak membuka mata.
Begitu puting tetek ibunya menyumpal mulut,
anak itu langsung terdiam, seperti bekicot yang menarik lagi tubuhnya masuk ke
dalam rumah pelindungnya. Lalu meneruskan tidur sambil merintih-rintih manja.
Ali mendekati orok itu dengan dongkol. Lalu
ia merengutkan tetek istrinya keluar dari mulut anaknya. Tapi si kecil
membangkang tidak mau melepaskan. Ali memegangi tetek istrinya dan memijit pipi
anaknya. Tapi tiba-tiba tangan kiri istrinya bergerak dan menampar.
“Udah ah, kan baru kemarin!”
Ali terkejut memegangi pipi. Tamparan itu
keras sekali.
“Makanya bangun! Ini Hari Peringatan
Kebangkitan Nasional tahu! Kita kan
sudah janji untuk memperingati dan berdoa bersama-sama agar negeri kita yang
sedang terpuruk ini bangkit lagi. Ayo! Anak itu sudah besar nggak usah
ditetekin lagi nanti kena Oedipus Complex!”
Ali kembali meraih tetek istrinya untuk
dicabut dari mulut anaknya. Tapi tiba-tiba anak itu menendang kuat. Ali
berteriak kesakitan karena tepat mengenai buah ampulurnya.
Istri Ali bangkit. Ia mengendong anaknya
pindah ke kamar, lalu mengunci dari dalam. Dari radio terdengar sapa mesra dari
pembawa acara banci yang serak-serak basah.
“Hallo sayang, bagaimana perasaanmu sekarang,
masih kurang. Ini gua tambahin!”
Lalu terdengar suara Elly Kasim. Aduh
duh-duh-duh-duh.
Ali meringis lalu menghampiri radio dan
membungkamnya..
“Bangunnnnnnnnnnnnn!” teriak Ali lantang
kalap.
Teriakan Ali melenting keluar rumah.
Membumbung dan kemudian berserak. Masuk ke jendela rumah tetangga. Terhempas
juga ke pos penjagaan satpam. Tetapi tidak seorang pun yang peduli. Setelah
kejadian 14 mei 1998, segala kehebohan menjadi hambar.
“Sialan! Tak ada lagi orang terkejut oleh
bunyi letusan, letupan, teriakan atau lolong minta tolong. Apalagi hanya
teriakan bangun, bangun dari hanya seorang guru SMP yang kebanyakan membaca
koran yang sudah dikuasai oleh kelompok, partai dan orang-orang kaya yang tidak
lagi menyuarakan kebenaran tetapi kepentingannya untuk merebut posisi dalam
pilkada,” umpat Ali.
“Bangunnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!!”
teriak Ali kalap menirukan suara John Lennon dalam lagu ‘’Mother’’.
Tapi tak ada gunanya.
Bahkan satpam yang semula masih hirau, ketika
teriakan itu semakin keras, kini berbalik menjadi kian tuli. Ia mengurungkan
niatnya untuk keliling kompleks. Karena suara Ali sudah mengganti bunyi tiang
listrik yang dipukulnya, tanda ia lewat.
Ali mengintip ke balik celana. Setelah yakin
tidak ada yang pecah, kemudian ia berdiri perlahan-lahan. Ia menebarkan matanya
ke seluruh ruangan, seperti seorang jendral yang kalah dalam pertempuran.
Mukanya nampak sangat rusak oleh kecewa.
“Inilah yang sudah menyebabkan kita tidak
pernah merdeka,” katanya dengan suara berat yang sangat berbeda.
Ia mengeluh, berfilsafat dan memberikan
kesimpulan, seperti seorang kandidat doktor yang mengucapkan puncak dari
disertasinya sesudah membeberkan pembuktian dengan tumpukan data dan fakta.
“Inilah yang menyebabkan kemerdekaan tidak
ada gunanya, karena kemerdekaan sudah diartikan kebablasan. Boleh berbuat apa
saja. Boleh tidur seenak udel karena sudah tidak ada lagi majikan yang marah.
Boleh malas, karena tidak takut lagi akan ditindak, karena bukan hanya
kemerdekaan, kebodohan dan kemiskinan pun dilindungi oleh undang-undang karena
itu bagian dari hak azasi manusia. Prek! Telek kebo!”
Ali, guru SMP yang dipecat karena muridnya
semua tidak lulus UN itu kemudian keluar dari rumahnya. Ia langsung menuju ke
pos satpam. Ketika melihat para petugas itu sibuk main domino, ia kontan
menangis.
“Ya Tuhan, jadi inilah sebabnya kami tidak
pernah maju. Satpam-satpam kami mabok semua! Para
petugas tidak melaksanakan tugasnya. Kami semua amatir dalam segala hal. Guru
amatir, politikus amatir, budayawan amatir, agamawan amatir, pemerintah dan
rakyat semua amatir. Tidak ada yang peduli lagi ini Hari Kebangkitan Nasional.
Tidak ada yang peduli hari ini, 100 tahun yang lalu, cita-cita Indonesia
dilahirkan. Tidak ada yang peduli lagi apa itu Indonesia . Semua orang hanya peduli
kepentingan pribadi! Bangsa ini sudah tidur dan bangkrut! Hanya guru SMP yang
miskin, tidak punya rumah sendiri, yang merangkap jadi tukang ojek dan pemulung
untuk hidup, yang dijerat utang dan tidak tahu apa yang akan dimakan besok
pagi, yang dipecat karena menolong anak didiknya lulus UN, hanya kecoak seperti
aku ini yang masih ingat apa itu Kebangkitan Nasional, apa itu Indonesia. Minta
ampunnnnnn! Aku berhenti! Aku tidak bisa berjuang sendirian! Ini kebangetan!!!”
Suara Ali keras, tapi satpam itu sama sekali
tidak peduli. Menoleh pun tidak.
Putus asa Ali berjalan keluar dari kompleks
perumahan sangat sederhana itu. Beberapa ratus meter, ia berhenti di perempatan
yang lengang. Lalu berteriak-teriak keki membangun seluruh kota , sampai habis suaranya.
“Bangunnnnn!
Bangunnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!”
Pukul empat subuh, Ali jatuh karena lelah. Ia
tertidur di beton perempatan, seperti layangan putus yang tersangkut di kabel
listrik.
Langit disemprot warna merah. Seekor burung
seperti menembakkan dirinya ke arah laut. Lalu bumi sekan-akan bergerak.
Lamat-lamat terdengar suara azan. Merdu dan indah sekali.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar.... Ashadu
Allah....’’”
Suara itu melayang masuk ke rumah Ali.
Mengusap lembut telinga semua yang tidur. Hanya beberapa detik terlambat,
kemudian setiap orang membuka mata. Tak seorang pun yang tidur lagi. Tanpa ada
yang memerintah apalagi menggertak, serentak mereka bangkit. Bahkan anak kecil
itu tersenyum.
Kendaraan mulai berderak. Ibu Kota gemeletuk
bangkit. Tetapi Ali semakin tertanam jauh di lorong tidurnya yang yang
dalam.***
Astya Puri , 4 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar