Kamis, 26 Januari 2012

Harkitnas Cerpen: Putu Wijaya


Suara Merdeka
Minggu, 18 Mei 2008

Harkitnas
Cerpen: Putu Wijaya

ALI bangun tiba-tiba. Jam masih menunjuk ke angka 2. Saat semua orang baru masuk ke jantung lelap yang paling dalam. Satu dua kendaraan masih kedengaran mendengus jauh di jalanan. Tetapi Jakarta yang sibuk dan gelisah, nampaknya sudah berbaring melepas lelah. Mengambil napas untuk mendengus lagi dengan keriuhan dalam panas terik, debu dan hiruk-pikuk metropolitan.
“Bangun, bangun, bangun semua!” kata Ali dengan suara keras membangun seluruh isi rumah.
Suara Ali keras mengejutkan beberapa ekor cicak yang sedang berburu nyamuk di dinding. Tetapi semua yang tidur tetap tak bergerak. Istrinya, anaknya, neneknya dan pembantunya, juga seorang anak tetangga yang keasyikan main, nampak berbaring lena.
Ali mencoba lagi. Sekali ini disertai dengan gebrakan pada meja.
“Bangun! Bangun! Bangun!”
Suara Ali yang cempreng, tercekik, tinggi jelek menyakitkan, membelah meretakkan kesunyian. Tetapi suara itu bahkan seperti musik yang tambah menyemplungkan semua yang tidur untuk jatuh ke lubangnya dengan lebih terperosok lagi. Pembantu yang tertidur di depan televisi malah ngelindur.
“Terus, terus, terus!”
Ali jadi senewen. Ia cepat menyalakan lampu.
Seluruh ruangan menjadi terang-benderang bagaikan teriakan yang lantang dalam malam yang gelap-gulita itu, karena para tetangga semuanya memadamkan listrik akibat ancaman tarif listrik yang baru. Perut rumah kelihatan berantakan. Anak-anak tidur di lantai. Istri Ali hampir jatuh dari balai-balai karena ditendang oleh kaki anaknya yang paling kecil. Tapi sambil tidur tangannya masih sempat terjulur menahan badannya. Ruang tamu yang kecil itu serasa tong sampah manusia.
Ali membentak sekalian menggebrak.
“Bangunnnnnnnnnn!”
Pembantu yang ngelindur itu menjawab.
“Terus, terus, terus ...”
Ali mulai senewen. Ia menghidupkan televisi dan radio keras-keras. Suara itu langsung memenuhi ruangan lalu terlontar keluar rumah, menyerbu keheningan para tetangga. Berserak juga ke pos penjagaan.
Satpam yang sedang main domino untuk mencoba mengubah nasibnya secara kecil-kecilan, paling tidak untuk belanja sari hari besok, tak menoleh.
Ada apa lagi pak Ali ini?” kata salah seorang dari mereka.
Tidak ada yang tertarik untuk berdiri dan menghampiri rumah Ali. Mereka malah merasa ditolong, karena suara itu sekan-akan menggantikan tubuh mereka yang ronda setiap empat jam sekali.
Ali tercengang oleh kebebalan seisi rumah. Lalu ia masuk ke kamar mandi dan membuka semua kran. Beberapa buah kran mucrat dengan tajamnya mengebor air dalam bak. Bunyinya berisik riuh. Kucing yang tertidur di bawah kursi terkejut, lalu ia mondar-mandir dengan gelisah. Tetapi penghuni rumah, masih terpaku dengan harga mati.
“Bangunnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!” teriak Ali kalap, karena sudah tidak tahan lagi menghadapi kebekuan yang mengerak itu.
Anak Ali yang paling kecil terbangun. Ia memekik terkejut, lalu menangis. Jeritnya menyelusup di keributan kamar menggapai ibunya. Lalu tangan ibunya bergerak membuka kutang dan menarik kepala anaknya untuk menetek, tapi dengan sama sekali tidak membuka mata.
Begitu puting tetek ibunya menyumpal mulut, anak itu langsung terdiam, seperti bekicot yang menarik lagi tubuhnya masuk ke dalam rumah pelindungnya. Lalu meneruskan tidur sambil merintih-rintih manja.
Ali mendekati orok itu dengan dongkol. Lalu ia merengutkan tetek istrinya keluar dari mulut anaknya. Tapi si kecil membangkang tidak mau melepaskan. Ali memegangi tetek istrinya dan memijit pipi anaknya. Tapi tiba-tiba tangan kiri istrinya bergerak dan menampar.
“Udah ah, kan baru kemarin!”
Ali terkejut memegangi pipi. Tamparan itu keras sekali.
“Makanya bangun! Ini Hari Peringatan Kebangkitan Nasional tahu! Kita kan sudah janji untuk memperingati dan berdoa bersama-sama agar negeri kita yang sedang terpuruk ini bangkit lagi. Ayo! Anak itu sudah besar nggak usah ditetekin lagi nanti kena Oedipus Complex!”
Ali kembali meraih tetek istrinya untuk dicabut dari mulut anaknya. Tapi tiba-tiba anak itu menendang kuat. Ali berteriak kesakitan karena tepat mengenai buah ampulurnya.
Istri Ali bangkit. Ia mengendong anaknya pindah ke kamar, lalu mengunci dari dalam. Dari radio terdengar sapa mesra dari pembawa acara banci yang serak-serak basah.
“Hallo sayang, bagaimana perasaanmu sekarang, masih kurang. Ini gua tambahin!”
Lalu terdengar suara Elly Kasim. Aduh duh-duh-duh-duh.
Ali meringis lalu menghampiri radio dan membungkamnya..
“Bangunnnnnnnnnnnnn!” teriak Ali lantang kalap.
Teriakan Ali melenting keluar rumah. Membumbung dan kemudian berserak. Masuk ke jendela rumah tetangga. Terhempas juga ke pos penjagaan satpam. Tetapi tidak seorang pun yang peduli. Setelah kejadian 14 mei 1998, segala kehebohan menjadi hambar.
“Sialan! Tak ada lagi orang terkejut oleh bunyi letusan, letupan, teriakan atau lolong minta tolong. Apalagi hanya teriakan bangun, bangun dari hanya seorang guru SMP yang kebanyakan membaca koran yang sudah dikuasai oleh kelompok, partai dan orang-orang kaya yang tidak lagi menyuarakan kebenaran tetapi kepentingannya untuk merebut posisi dalam pilkada,” umpat Ali.
“Bangunnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!!” teriak Ali kalap menirukan suara John Lennon dalam lagu ‘’Mother’’.
Tapi tak ada gunanya.
Bahkan satpam yang semula masih hirau, ketika teriakan itu semakin keras, kini berbalik menjadi kian tuli. Ia mengurungkan niatnya untuk keliling kompleks. Karena suara Ali sudah mengganti bunyi tiang listrik yang dipukulnya, tanda ia lewat.
Ali mengintip ke balik celana. Setelah yakin tidak ada yang pecah, kemudian ia berdiri perlahan-lahan. Ia menebarkan matanya ke seluruh ruangan, seperti seorang jendral yang kalah dalam pertempuran. Mukanya nampak sangat rusak oleh kecewa.
“Inilah yang sudah menyebabkan kita tidak pernah merdeka,” katanya dengan suara berat yang sangat berbeda.
Ia mengeluh, berfilsafat dan memberikan kesimpulan, seperti seorang kandidat doktor yang mengucapkan puncak dari disertasinya sesudah membeberkan pembuktian dengan tumpukan data dan fakta.
“Inilah yang menyebabkan kemerdekaan tidak ada gunanya, karena kemerdekaan sudah diartikan kebablasan. Boleh berbuat apa saja. Boleh tidur seenak udel karena sudah tidak ada lagi majikan yang marah. Boleh malas, karena tidak takut lagi akan ditindak, karena bukan hanya kemerdekaan, kebodohan dan kemiskinan pun dilindungi oleh undang-undang karena itu bagian dari hak azasi manusia. Prek! Telek kebo!”
Ali, guru SMP yang dipecat karena muridnya semua tidak lulus UN itu kemudian keluar dari rumahnya. Ia langsung menuju ke pos satpam. Ketika melihat para petugas itu sibuk main domino, ia kontan menangis.
“Ya Tuhan, jadi inilah sebabnya kami tidak pernah maju. Satpam-satpam kami mabok semua! Para petugas tidak melaksanakan tugasnya. Kami semua amatir dalam segala hal. Guru amatir, politikus amatir, budayawan amatir, agamawan amatir, pemerintah dan rakyat semua amatir. Tidak ada yang peduli lagi ini Hari Kebangkitan Nasional. Tidak ada yang peduli hari ini, 100 tahun yang lalu, cita-cita Indonesia dilahirkan. Tidak ada yang peduli lagi apa itu Indonesia. Semua orang hanya peduli kepentingan pribadi! Bangsa ini sudah tidur dan bangkrut! Hanya guru SMP yang miskin, tidak punya rumah sendiri, yang merangkap jadi tukang ojek dan pemulung untuk hidup, yang dijerat utang dan tidak tahu apa yang akan dimakan besok pagi, yang dipecat karena menolong anak didiknya lulus UN, hanya kecoak seperti aku ini yang masih ingat apa itu Kebangkitan Nasional, apa itu Indonesia. Minta ampunnnnnn! Aku berhenti! Aku tidak bisa berjuang sendirian! Ini kebangetan!!!”
Suara Ali keras, tapi satpam itu sama sekali tidak peduli. Menoleh pun tidak.
Putus asa Ali berjalan keluar dari kompleks perumahan sangat sederhana itu. Beberapa ratus meter, ia berhenti di perempatan yang lengang. Lalu berteriak-teriak keki membangun seluruh kota, sampai habis suaranya.
“Bangunnnnn! Bangunnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!”
Pukul empat subuh, Ali jatuh karena lelah. Ia tertidur di beton perempatan, seperti layangan putus yang tersangkut di kabel listrik.
Langit disemprot warna merah. Seekor burung seperti menembakkan dirinya ke arah laut. Lalu bumi sekan-akan bergerak. Lamat-lamat terdengar suara azan. Merdu dan indah sekali.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar.... Ashadu Allah....’’”
Suara itu melayang masuk ke rumah Ali. Mengusap lembut telinga semua yang tidur. Hanya beberapa detik terlambat, kemudian setiap orang membuka mata. Tak seorang pun yang tidur lagi. Tanpa ada yang memerintah apalagi menggertak, serentak mereka bangkit. Bahkan anak kecil itu tersenyum.
Kendaraan mulai berderak. Ibu Kota gemeletuk bangkit. Tetapi Ali semakin tertanam jauh di lorong tidurnya yang yang dalam.***
Astya Puri , 4 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar