Republika
Minggu, 04
Mei 2008
KUCING TETANGGA
Cerpen: Thamrin, TI
Istriku tiba-tiba jadi pembenci kucing nomor
satu. Tiap ada kucing mendongakkan kepalanya ke celah pagar halaman rumah kami,
dia langsung menghardiknya. Yang berhasil menerobos masuk barangkali akan
digebuknya.
Kucing-kucing itu milik Nyonya Siska,
tetangga kami seblok. Dia istri Idris, oknum pejabat Pemda yang mendadak kaya.
Rumah gedung dua pintu mereka penuh kucing kampung dan kucing angora. Karena
bau kucing-kucing itu, istriku jadi tak menyukai Bu Idris, seperti haram
baginya menginjakkan kaki di rumahnya.
"Begitu kita masuk, Yah, sudah tercium
bau tahi kucing di mana-mana. Sofa dan kursi meja makan yang mahal-mahal pun
sobek-sobek dicakar kucing," kata istriku. "Dan, dibiarkan. Paling,
katanya, Pus, atau Linda, jangan begitu. Itu kursi mahal. Huh, gemas aku."
"Tapi, katamu, kau belum pernah ke rumahnya," kataku.
"Tapi, katamu, kau belum pernah ke rumahnya," kataku.
"Memang," jawabnya tangkas.
"Tapi, kan
tercium dari luar pagar."
"Lalu, sofanya yang cabik-cabik?"
"Ibu-ibu bilang begitu!"
Kebencian istriku menjadi-jadi ketika musim
kucing kawin tiba. Suara jeritannya sama riuhnya dengan jeritan kucing hendak
bersenggama.
"Jangan-jangan kau benci pada
pemiliknya, bukan pada piaraannya itu," kataku menggoda.
"Apa?!" istriku berteriak gusar.
"Kau iri pada kekayaan mereka."
"Apa? Yang ia curi bukan milikku, tapi
milik rakyat dan negara. Lagi pula, hampir semua pejabat negeri ini koruptor.
Tambah satu..., kecil."
"Husss!"
"Bodo!"
Yang suka berkeliaran di depan rumah kami
kebanyakan kucing kampung, yang dibiarkan mencari makan sendiri. Sedangkan
kucing angora ia kurung di rumah dan dibelikan ikan, daging, serta susu. Itu
sebabnya, kata gunjingan, para pembantu rumah tangga jarang betah bekerja di
rumah Bu Idris. Mereka hanya kebagian tahu dan tempe .
Kalau ada kucing sakit, dibawa ke dokter
hewan. Tapi, ketika para pembantu sakit, paling dibelikan aspirin atau jamu
tolak angin. Namun, kepada ibu-ibu tetangganya, Bu Idris berdalih, "Saya
sendiri makan tahu-tempe. Saya juga suka minum jamu."
Berkerumunnya kucing kampung Bu Idris di
depan rumah kami, karena kami "memelihara" banyak tikus. Siang-malam
loteng rumah kami sering riuh-rendah oleh lalu-lalang dan cericit tikus yang
berkeliaran mencari makanan. Apa saja mereka ganyang. Kaleng roti biskuit sering
mampu mereka gulingkan ke lantai, dan isinya mereka ludasi.
Sialnya, mereka kian pintar membedakan
santapan yang aman dengan yang membawa ajal. Makanan beracun hampir tak mereka
sentuh, kecuali anak-anaknya yang kurang berpengalaman. Sedang tikus biang dan
pejantan segera membiakkan generasi baru.
"Jangan-jangan ini tikus yang lari dari
rumah Bu Idris, atau yang ia kirim," anakku, Isna, meledek ibunya.
"Husss!" sergahku.
"Sebenarnya, mereka kemari karena merasa
dianaktirikan dengan kucing-kucing impor itu," kata istriku.
"Itu karena kita tidak memelihara
kucing," kata Ita, adik Isna.
"Memelihara kucing? Amit-amit deh,"
sungut ibunya.
Tikus-tikus pun mengamuk. Karena semua
makanan, mentah dan matang, kami jejalkan ke kulkas, mereka kini memakan
karpet, sandal karet, sepatu kulit, dan apa saja. Pralon rompal, membuat air
tanah macet, dan air PAM melimpahi rumah. Singkong dan ubi di kebun kecil di
samping rumah juga tumpas. Istriku berhenti mengumpati; ia mulai putus asa.
Rekan-rekanku di kantor, yang aku ceritai, menyalahkan kelemahanku -- istriku lebih dominan.
"Pertama-tama, kau harus tertibkan istrimu, baru tikus," Maulana mengajukan resep.
Rekan-rekanku di kantor, yang aku ceritai, menyalahkan kelemahanku -- istriku lebih dominan.
"Pertama-tama, kau harus tertibkan istrimu, baru tikus," Maulana mengajukan resep.
"Rumahmu penuh tikus, tapi istrimu
membenci kucing, padahal kucing pemangsa tikus."
"Katamu, lahan rumahmu itu bekas kebun
singkong dan ubi," kata Johan yang sering ke rumahku. "Aku tahu di
sebelahnya sawah, yang diuruk untuk pemukiman baru. Tahu kau kenapa rumahmu
dikerjai tikus?" katanya.
Teman-teman tersenyum menunggu ketajaman
analitis Johan yang terkenal itu. "Tadinya tikus-tikus menetap dan mencari
makan di lahan rumah itu sebelum rumahmu berdiri," simpul Marjohan.
"Mengapa sekarang?" protesku.
"Ketika rumahmu dibangun, mereka
mengungsi ke sawah, dan memangsa padi atau palawija. Sedang sekarang kan sawahnya sudah diuruk
untuk bakal pemukiman."
"Tapi, kenapa rumahku?" protesku.
"Karena istrimu itu! Ia
mempersonanongratakan kucing-kucing itu," kata mereka serentak.
Aku termenung. Johan memintaku memeriksa saluran air rumah. "Apakah airnya mengalir ke sawah?" tanyanya.
Aku termenung. Johan memintaku memeriksa saluran air rumah. "Apakah airnya mengalir ke sawah?" tanyanya.
"Memang. Sejak gorong-gorong depan rumah
suka meluap di musim hujan, kami membuka saluran air ke sawah."
"Ya," sela Johan. "Dari
situlah tikus-tikus itu leluasa keluar-masuk. Tutup saluran itu, alirkan air
limbah kembali ke gorong-gorong. Dan biarkan kucing-kucing itu melakukan
'operasi jaring merah'."
Aku mengangguk pelan.
Saran Johan aku laksanakan tanpa meminta
persetujuan istriku, yang ternyata setuju saja. "Tapi, jika hujan dan
airnya melimpah, kita bisa dimaki orang se-RW."
"Biar. Kita yakinkan mereka, itu
gara-gara para oknum Pemda yang korup dan mau terima sogok. Developer membangun
perumahan berfasilitas kelas kambing. Membengkakkan biaya proyek dan
memerosotkan mutu. Orang-orang kayak si tikus Idris itu."
"Husss!" sergahku.
"Biar!" kata istriku enteng.
"Masak, kepala bagian saja bisa punya rumah bertingkat dua kapling, dan
tiga sedan mewah. Dasar tikus."
Setelah saluran air itu ditutup, tikus-tikus
itu tak bisa lagi keluar masuk ke dan dari rumah kami. Sekarang, rasakan! Tapi
tidak juga. Tak bisa keluar dari rumah, para tikus kian merajalela: makanan,
pipa pralon, kabel listrik dan telepon, pakaian dan sepatu, mereka lahap semua.
Seperti hendak membalaskan dendam: mereka menggerogoti sedikit lalu
mencabik-cabiknya.
"Idris lu!" kutuk istriku.
"Sssst!"
"Ah, kau! Kau kayak penegak hukum saja,
takut sama koruptor!"
Suatu sore di hari libur Imlek, aku, istriku,
dan ketiga anakku duduk-duduk di beranda. Aku melihat wajah istriku lebih
berseri.
"Tumben Ibu kalian ceria hari ini?"
godaku.
"Emang. Aku girang dia akan pindah dari
sini."
Aku sudah bisa menebak, tapi bertanya juga:
"Siapa yang mau pindah?"
"Keluarga tikus itu. Rupanya si Idris
dapet sabetan lagi, dan membeli rumah mewah baru di Kelapa Gading."
"O ya, Bu? Enak dong mereka," timpa
Isna.
"Sekarang enak. Nanti di akhirat tahu
rasa," ujar istriku.
"Lalu kenapa kau senang?" kataku.
"Tampang kayak gitu jauh-jauh
sajalah."
Tiba-tiba seekor kucing kampung melompat dari
para-para rumah kami. Matanya liar dan bersinar di keremangan senja. Dia
seperti kaget dan ketakutan melihat kami, yang menatapnya nanap. Yang lebih
kaget aku dan anak-anakku. Bukan saja berhasil lolos masuk ke rumah kami,
kucing abu-abu bertotal hitam itu mencengkeram seekor tikus sebesar tinju
lelaki di rahangnya yang bertaring tajam. Darah segar menetes dari tubuh tikus
hitam keabu-abuan itu. Matanya terbeliak, seperti tak percaya ada kucing masuk
ke rumah dan menangkapnya.
"Ya. Sejak pemiliknya
dipastikan akan pindah ke Kelapa Gading, aku membiarkan kucing-kucing kampung
itu masuk dan berpesta pora," ujar istriku dengan senyum puas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar