Jawa
Pos
Minggu,
12 Agustus 2007
Dadong Dauh
Cerpen: Sunaryono Basuki
Ks
Nama sebenarnya bukan Dadong Dauh, tetapi
teman-temannya memanggilnya "Dadong", bukan lantaran dia sudah
nenek-nenek atau nampak sebagai nenek. Desak masih muda, masih 21 tahun, dan
dia juga tidak nampak sebagai nenek-nenek, tapi toh tetap saja panggilan itu
yang dipakai. Bahkan dia menandai file presentasi dramanya dengan "Dadong
Dauh", mengacu ke sebuah judul lagu anak-anak berbahasa Bali .
Bukan hanya Desak yang dipanggil dengan nama lain. Risna punya nama panggilan
Bunbun, ada lagi yang dipanggil Cacing, Dodol, Kancrong, dan sejumlah nama
lain. Dengan menyebut nama tertentu, teman-temannya segera tahu siapa yang
dimaksud.
Ayah Desak, Dewa Made Beratha, menginginkan anaknya itu setelah lulus dari studi di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris segera mencari kerja sebagai guru, bukan sebagai karyawan hotel. Maklum, kata ayahnya, hotel sedang sepi. Situasi pariwisata naik turun, tak dapat diandalkan. Sedangkan menjadi guru mendapat gaji yang pasti, uang pensiun, dan taspen walau tak seberapa. Apalagi, bekerja sebagai guru tak terlalu menyita waktu. Hal ini penting dipikirkan, sebab, nanti, kalau Desak menikah dan punya bayi, maka dia perlu waktu lebih banyak untuk bayinya, dan profesinya memungkinkan hal itu. Kalau bekerja sebagai karyawan hotel, walau gajinya lebih banyak, sangat terikat dengan jam kerja. Dan, tentu saja Desak nantinya harus nikah dengan Dewa. Entah Dewa dari mana, pokoknya Dewa. Jangan sampai Desak "mencebur" nikah dengan seorang lelaki tak berkasta.
Desak memang cantik. Tubuhnya tinggi semampai, benar-benar semampai, bukan ejekan yang merupakan kependekan dari "semeter tak sampai". Persisnya, tingginya 167 cm, tidak "katek" sebagai seorang perempuan. Rambutnya hitam lurus, kulit wajahnya halus, entah karena memakai sabun mandi apa. Alisnya tebal dan tubuhnya subur, tak terlalu kurus dan tak gemuk. Matanya? Hitam pada dasar putih susu, terlihat sehat, dan kalau bergerak-gerak sewaktu menari, kelihatan benar-benar hidup. Dia sering menari untuk kegiatan di kampus. Dia ikut Tari Panyembrana, bentuk tari penyambutan tamu yang selalu menampilkan bidadari-bidadari jelita. Dalam bungkus riasan dan sorotan lampu, para penari berubah wujud menjadi dewi-dewi dari khayangan. Bahkan Dewa Komang tak dapat mengenalinya. Barulah saat dia perhatikan para penari itu seorang demi seorang, Dewa dapat mengenali leher Desak yang jenjang dan hidungnya yang mancung. Di belakang panggung Dewa mencoba menguak kerumunan teman-temannya untuk memberi salam Desak. Dan setelah benar-benar berhadapan dengan Desak, Dewa tertegun dan berbisik pada dirinya sendiri:
"Dia memang cantik! Dewiku, bidadariku..."
Semua penari harus disalaminya, dan Desak yang terakhir. Tangannya bergetar, bukan lantaran takut atau kikuk, melainkan karena kagum.
"Kau cantik sekali, Sak," bisiknya. Ingin dia mencium gadis itu, tetapi tentu saja tak mungkin. Di ruang lain, mungkin, tetapi di kamar rias, sulit. Apalagi Desak mengoleskan gincu merah di bibirnya, dan pipinya penuh dengan bedak riasan, dan juga keringat yang membuat kulit pipinya mengilat.
Dewa bukan kerabatnya, berasal dari Klungkung, sedangkan Desak dari Seririt, dua puluh kilometer di sebelahkota
Singaraja. Karena rumahnya cukup jauh, dia tinggal di kamar pondokan di Jalan
Nuri, bersama sejumlah mahasiswi lain. Di tempatnya yang longgar karena punya
halaman dan tempat parkir, hanya tinggal mahasiswi. Sedangkan di tempat Dewa
yang tak jauh dari kampus, mahasiswa dan mahasiswi tinggal serumah, penuh sesak
dan kamar mereka berukuran kecil. Berbeda dengan kamar Desak yang punya kamar
mandi sendiri, dan meja belajar tempat dia meletakkan komputer. Mahasiswa wajib
punya komputer karena banyaknya tugas-tugas presentasi dan tugas akhir. Kalau
harus bekerja di rental komputer, banyak waktu dan uang yang terbuang. Bekerja
di kamar sendiri lebih hemat. Dia bisa beristirahat di sela kerja, membuka
catatan dan buku-buku saat mencari rujukan.
Kadang-kadang Dewa Komang datang menengoknya, ditemui di teras depan kamar. Tersedia dua buah kursi dan meja tamu kecil yang menempel di tembok. Di tempat Dewa, tak ada teras. Ukuran kamarnya pun kecil, diisi dengan sebuah tempat tidur untuk seorang, meja belajar ukuran kecil, dan lampu baca di atas langit-langit kamar. Bila perlu mandi atau buang air, harus antre. Hanya ada empat kamar mandi untuklima
belas penghuni, dua untuk mahasiswa dan dua untuk mahasiswi. Kelebihannya,
sebuah warung milik induk semang berada di bagian luar rumah, sedang
kamar-kamar terletak di sepanjang lorong di samping rumah. Jalannya sempit, dan
tamu lelaki maupun perempuan boleh diterima di dalam kamar.
"Mau minum kopi?"
"Ya, ya. Terima kasih," sahut Dewa segera. Desak masuk ke dalam kamar dan menyiapkan air panas dengan menyalakan kompor minyak tanah yang ditaruh di dekat pintu kamar mandi.
"Sebentar, ya. Sambil bikin air untuk thermos."
Ada saja akal
Dewa untuk bisa berdekatan dengan Desak walaupun teman-teman satu pondokan
ramai di teras masing-masing dengan tamu-tamunya.
"Kok tirainya gak ditutup.Kan
tempat tidurnya kelihatan?"
"Nanti saja. Lampu kamar bisa dipadamkan,kan ?" begitu Desak memadamkan lampu dan
kembali ke teras.
"Oh, bocor. Boleh pinjam kamar mandi?"
Desak maklum, artinya Dewa minta disayang, dan akan datang sebuah pelukan yang disusul dengan cium di pipi, dan akhirnya cium di bibir. Tetapi, tentu saja Desak punya malu. Saat Dewa masuk kamar mandi, dia pergi ke kamar Shintami yang terletak dua kamar di utara kamarnya. Disana
ada Adi, Endra, juga Debbie yang sedang ngobrol dengan Novy si empunya kamar.
Mereka sedang berkumpul mengerjakan tugas bersama. Mereka sedang
"bwt" alias "buwat tugas".
"Lho, kok Dewa ditinggal?"
"Yah, masak disuruh nonton orang kencing.Kan ngeri."
Mereka tertawa.
"Gak ngintip, kok. Dadong balik aja ke kamar."
"Biar aja dia keluar ke teras dulu, aku baru balik kesana ."
Teman-temannya tertawa lagi.
"Sedang berhalangan, ya? Atau gak nafsu?"
"Apa aja boleh," jawabnya enteng.
Pada saat lain Desak diminta datang ke kamar Dewa via sms. Untuk menyenangkan hati temannya itu dia datang. Pondokan Dewa sedang sepi karena teman-temannya berada di kampus pada jam kuliah. Dewa pasti tahu pada hari dan jam itu banyak temannya yang tak berada di pondokan. Desak diminta masuk kamar. Duduk di kursi belajar dan Dewa segera menutup pintu dan menguncinya. Tanpa basa-basi lelaki itu menubruk Desak sebagaimana biasa seperti saat saling rindu, tetapi dengus napas Dewa berbeda.
Sambil memeluk erat dia berbisik: "Sekarang ya Sak, sekali ini saja. Aku tak tahan!"
Desak tak bisa menolak ciuman Dewa di pipi yang merembet ke bibir. Diterima dengan dingin. Dan, ketika Dewa melonggarkan pelukannya untuk membuka pakaian Desak, ditamparnya lelaki itu dengan tangan kanan dan didorong dadanya dengan tangan kiri sampai jatuh ke tempat tidur. Lalu, buru-buru dia membuka pintu.
Sms datang bertubi, minta maaf, tapi bagi Desak sudah cukup. Kalau teman-teman Dewa biasa melakukannya dengan pacar, tidak bagi Desak. Hanya kata tidak, tak ada pilihan lain.
Beberapa kali Dewa datang ke pondokan Desak tapi tak pernah dibukakan pintu. Tirai kamar ditutup dan dia tiduran seolah tak di rumah. Saat kepergok Dewa, dengan sengit Desak berkata:
"Cari aja teman lain yang sudah biasa. Atau cari patok ".
"Sak, maaf."
Banyak yang bisa dikatakan Desak tetapi dia sudah ngekoh ngomong. Tidak ada ampun bagi Dewa. Ternyata kemudian Desak jatuh cinta, bukan pada teman kuliah, bukan pada mahasiswa dari jurusan lain, tetapi pada dosennya sendiri. Benar-benar gila, pikirnya, tetapi Desak memang mencintainya. Tak ada yang istimewa dengan lelaki itu selain bahwa dia seorang dosen, bergelar doktor, punya istri dan anak-anak yang lebih tua dari Desak. Mula-mula hanya acara konsultasi, dimulai dengan cium pipi. Mula-mula Desak merasakannya sebagai cium sayang seorang ayah. Lalu, pada suatu saat, lelaki itu mencuri ciumnya, dan Desak mendapatkan rasa damai luar biasa. Dari kata-katanya yang lembut, dari tatapan mata yang lembut, dari perangai yang lembut, dan dari ciuman yang lembut. Lama-kelamaan Desak merindukan ciumannya, merindukan pelukannya yang lama, dan memberinya rasa damai serta rasa aman.
Walaupun lelaki itu punya mobil, dia tak pernah mengajaknya pergi, ke Lovina, misalnya, atau ke arah timur, ke Air Sanih. Kata teman-temannya, ada beberapa tempat penginapan yang sering disewa sesaat oleh berbagai pasangan. Hari Jumat dikenal sebagai Hari Krida dan itu berarti PNS dalam pakaian training bebas pergi ke mana saja dan membiarkan kantor kosong. Sejumlah mobil, katanya, meluncur ke arah timur, atau sekadar diparkir di halaman sejumlah hotel tertentu dalamkota .
Pernah dia dengar berita di radio, seorang kepala sekolah SD berselingkuh di
hotel dengan seorang guru satu sekolah, dan digerebek oleh suami sang guru.
Sang kepala sekolah diperkarakan karena mencoreng dunia pendidikan. Tetapi,
teman-temannya menganggap hal itu biasa saja dan bukan merupakan berita besar.
Desak tak bisa membayangkan seandainya dia tertangkap di sebuah hotel dengan
dosennya, dipergoki anak si dosen. Sungguh memalukan. Kampus pasti gempar,
walau dia dengar juga sekali dua ada peristiwa-peristiwa memalukan seperti itu
yang tetap menjadi rahasia umum.
Karena sering dipeluk, sering dicium, Desak sudah merasa sebagai istri dosennya, walaupun secara resmi tak mungkin karena suaminya pasti terkena UU Perkawinan. Dan, tentu saja, karena belum lulus, dia juga belum siap nikah. Dalam sms selalu dia sebut lelaki itu sebagai "suamiku", sebab dia sudah memberikan semuanya kecuali keperawanannya, dan lelaki itu juga tak menunjukkan tanda-tanda akan merebutnya. Karena itulah dia merasa makin sayang. Dalam setiap pertemuan diupayakan agar dia bisa memeluk, mendapat rabaan, dan ciumannya, walau hanya sekejap. Hanya saja, dia sering takut, jangan-jangan ada yang mengetahui perbuatan mereka dan kampus menjadi gempar. Mungkin studinya akan dihambat oleh jurusan. Tapi, makin hari Desak merasa makin lekat, dan makin sulit berpisah dengannya.
Tiba-tiba datang berita sms dari teman-teman Desak. Ajakan untuk medelokan . Istri dosennya meninggal dan harus segera dibawa ke Tabanan. Mereka mengadakan pertemuan kilat, dan besoknya secara berombongan dengan mengenakan pakaian adat, berangkat ke Tabanan dengan menyewa mikrobus Isuzu. Desak ikut dalam rombongan, mengenakan kebaya, perasaannya campur-baur. Sedih. Senang.
Di rumah duka dia disambut dengan mata yang masih sembab dan tampak kelelahan. Desak tersenyum bukan menunjukkan kebahagiannya, mengulurkan tangan yang disambut kata-kata: "Bantu Bapak, ya Sak?"
Kaya makna. Desak tertegun. Benarkah dia akan menerimanya sebagai suami, nanti kalau sudah lulus? Dia juga menyalami anak-anak dosennya yang satu per satu dibisiki: "Tabah ya, Mbok. Tabah ya, Bli."
Bagaimana nanti mereka memanggil Desak kalau dia menjadi ibu mereka? Adik? Tak pantas rasanya dia panggil mereka "Nak". Perasaan itu dibawanya sampai ke tempat tidur. Masih teringat kemesraan yang telah diterima, ciuman yang lembut penuh kasih sayang, pelukan yang lama, elusan yang membangkitkan gairah. Rasanya tak ada lelaki lain yang lebih sesuai untuk menjadi suaminya selain sang dosen itu. Dalam tidur dia bermimpi bertemu seorang perempuan mengenakan pakaian serbaputih, kakinya tak menjejak tanah, bau wangi tersebar membungkus tubuhnya. Perempuan cantik itu tidak terseyum. Tiba-tiba bagai burung elang menyambar leher, mencabik-cabik dirinya. Darah mengucur dari seluruh wajah, seluruh tubuhnya, sampai Desak berkeringat dan tersengal-sengal di atas bantal.
Siapakah dia? Apakah dia ibu yang tak begitu dikenalinya? Apakah perempuan itu memberi tanda, isyarat kepadanya, untuk tak merebut suaminya?
Malam memang dingin dan tubuhnya gemetar, dan sampai pagi tak berani dia memicingkan mata. Besoknya dia mangkir kuliah, kelelahan luar biasa. Badannya panas dingin.
Sekarang, setelah lelaki itu menjadi duda, sebenarnya Desak punya kesempatan besar untuk menikah dengannya. Tapi, justru sekarang, dia merasa segala tindakannya, pelukannya, ciumannya, kerinduannya, semua dapat dengan mudah dilihat dari alamsana .
Setiap saat dia merasa diawasi, sewaktu-waktu akan dijewer saat telinganya
tiba-tiba sakit, atau dipukul kepalanya saat tiba-tiba terasa berjuta jarum
menusuk-nusuk kepalanya, atau dicubit saat tangannya semutan. Berdiri bulu
kuduknya.
Keputusannya bulat. Seusai mandi dan berpakaian bersih dia bersembahyang dengan canang yang dia beli sehari sebelumnya. Kepada Hyang Widhi dia meminta maaf dan bersumpah untuk menjauhi dosennya, walau berat. Harus dia lupakan semua kemesraan, semua pelukan, semua elusan. Kasih sayang lelaki itu harus dibawa dalam hati, dan dia harus berpikir untuk yang lain. ***
Singaraja, 25-31 Maret 2007
Ayah Desak, Dewa Made Beratha, menginginkan anaknya itu setelah lulus dari studi di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris segera mencari kerja sebagai guru, bukan sebagai karyawan hotel. Maklum, kata ayahnya, hotel sedang sepi. Situasi pariwisata naik turun, tak dapat diandalkan. Sedangkan menjadi guru mendapat gaji yang pasti, uang pensiun, dan taspen walau tak seberapa. Apalagi, bekerja sebagai guru tak terlalu menyita waktu. Hal ini penting dipikirkan, sebab, nanti, kalau Desak menikah dan punya bayi, maka dia perlu waktu lebih banyak untuk bayinya, dan profesinya memungkinkan hal itu. Kalau bekerja sebagai karyawan hotel, walau gajinya lebih banyak, sangat terikat dengan jam kerja. Dan, tentu saja Desak nantinya harus nikah dengan Dewa. Entah Dewa dari mana, pokoknya Dewa. Jangan sampai Desak "mencebur" nikah dengan seorang lelaki tak berkasta.
Desak memang cantik. Tubuhnya tinggi semampai, benar-benar semampai, bukan ejekan yang merupakan kependekan dari "semeter tak sampai". Persisnya, tingginya 167 cm, tidak "katek" sebagai seorang perempuan. Rambutnya hitam lurus, kulit wajahnya halus, entah karena memakai sabun mandi apa. Alisnya tebal dan tubuhnya subur, tak terlalu kurus dan tak gemuk. Matanya? Hitam pada dasar putih susu, terlihat sehat, dan kalau bergerak-gerak sewaktu menari, kelihatan benar-benar hidup. Dia sering menari untuk kegiatan di kampus. Dia ikut Tari Panyembrana, bentuk tari penyambutan tamu yang selalu menampilkan bidadari-bidadari jelita. Dalam bungkus riasan dan sorotan lampu, para penari berubah wujud menjadi dewi-dewi dari khayangan. Bahkan Dewa Komang tak dapat mengenalinya. Barulah saat dia perhatikan para penari itu seorang demi seorang, Dewa dapat mengenali leher Desak yang jenjang dan hidungnya yang mancung. Di belakang panggung Dewa mencoba menguak kerumunan teman-temannya untuk memberi salam Desak. Dan setelah benar-benar berhadapan dengan Desak, Dewa tertegun dan berbisik pada dirinya sendiri:
"Dia memang cantik! Dewiku, bidadariku..."
Semua penari harus disalaminya, dan Desak yang terakhir. Tangannya bergetar, bukan lantaran takut atau kikuk, melainkan karena kagum.
"Kau cantik sekali, Sak," bisiknya. Ingin dia mencium gadis itu, tetapi tentu saja tak mungkin. Di ruang lain, mungkin, tetapi di kamar rias, sulit. Apalagi Desak mengoleskan gincu merah di bibirnya, dan pipinya penuh dengan bedak riasan, dan juga keringat yang membuat kulit pipinya mengilat.
Dewa bukan kerabatnya, berasal dari Klungkung, sedangkan Desak dari Seririt, dua puluh kilometer di sebelah
Kadang-kadang Dewa Komang datang menengoknya, ditemui di teras depan kamar. Tersedia dua buah kursi dan meja tamu kecil yang menempel di tembok. Di tempat Dewa, tak ada teras. Ukuran kamarnya pun kecil, diisi dengan sebuah tempat tidur untuk seorang, meja belajar ukuran kecil, dan lampu baca di atas langit-langit kamar. Bila perlu mandi atau buang air, harus antre. Hanya ada empat kamar mandi untuk
"Mau minum kopi?"
"Ya, ya. Terima kasih," sahut Dewa segera. Desak masuk ke dalam kamar dan menyiapkan air panas dengan menyalakan kompor minyak tanah yang ditaruh di dekat pintu kamar mandi.
"Sebentar, ya. Sambil bikin air untuk thermos."
"Kok tirainya gak ditutup.
"Nanti saja. Lampu kamar bisa dipadamkan,
"Oh, bocor. Boleh pinjam kamar mandi?"
Desak maklum, artinya Dewa minta disayang, dan akan datang sebuah pelukan yang disusul dengan cium di pipi, dan akhirnya cium di bibir. Tetapi, tentu saja Desak punya malu. Saat Dewa masuk kamar mandi, dia pergi ke kamar Shintami yang terletak dua kamar di utara kamarnya. Di
"Lho, kok Dewa ditinggal?"
"Yah, masak disuruh nonton orang kencing.
Mereka tertawa.
"Gak ngintip, kok. Dadong balik aja ke kamar."
"Biar aja dia keluar ke teras dulu, aku baru balik ke
Teman-temannya tertawa lagi.
"Sedang berhalangan, ya? Atau gak nafsu?"
"Apa aja boleh," jawabnya enteng.
Pada saat lain Desak diminta datang ke kamar Dewa via sms. Untuk menyenangkan hati temannya itu dia datang. Pondokan Dewa sedang sepi karena teman-temannya berada di kampus pada jam kuliah. Dewa pasti tahu pada hari dan jam itu banyak temannya yang tak berada di pondokan. Desak diminta masuk kamar. Duduk di kursi belajar dan Dewa segera menutup pintu dan menguncinya. Tanpa basa-basi lelaki itu menubruk Desak sebagaimana biasa seperti saat saling rindu, tetapi dengus napas Dewa berbeda.
Sambil memeluk erat dia berbisik: "Sekarang ya Sak, sekali ini saja. Aku tak tahan!"
Desak tak bisa menolak ciuman Dewa di pipi yang merembet ke bibir. Diterima dengan dingin. Dan, ketika Dewa melonggarkan pelukannya untuk membuka pakaian Desak, ditamparnya lelaki itu dengan tangan kanan dan didorong dadanya dengan tangan kiri sampai jatuh ke tempat tidur. Lalu, buru-buru dia membuka pintu.
Sms datang bertubi, minta maaf, tapi bagi Desak sudah cukup. Kalau teman-teman Dewa biasa melakukannya dengan pacar, tidak bagi Desak. Hanya kata tidak, tak ada pilihan lain.
Beberapa kali Dewa datang ke pondokan Desak tapi tak pernah dibukakan pintu. Tirai kamar ditutup dan dia tiduran seolah tak di rumah. Saat kepergok Dewa, dengan sengit Desak berkata:
"Cari aja teman lain yang sudah biasa. Atau cari patok ".
"Sak, maaf."
Banyak yang bisa dikatakan Desak tetapi dia sudah ngekoh ngomong. Tidak ada ampun bagi Dewa. Ternyata kemudian Desak jatuh cinta, bukan pada teman kuliah, bukan pada mahasiswa dari jurusan lain, tetapi pada dosennya sendiri. Benar-benar gila, pikirnya, tetapi Desak memang mencintainya. Tak ada yang istimewa dengan lelaki itu selain bahwa dia seorang dosen, bergelar doktor, punya istri dan anak-anak yang lebih tua dari Desak. Mula-mula hanya acara konsultasi, dimulai dengan cium pipi. Mula-mula Desak merasakannya sebagai cium sayang seorang ayah. Lalu, pada suatu saat, lelaki itu mencuri ciumnya, dan Desak mendapatkan rasa damai luar biasa. Dari kata-katanya yang lembut, dari tatapan mata yang lembut, dari perangai yang lembut, dan dari ciuman yang lembut. Lama-kelamaan Desak merindukan ciumannya, merindukan pelukannya yang lama, dan memberinya rasa damai serta rasa aman.
Walaupun lelaki itu punya mobil, dia tak pernah mengajaknya pergi, ke Lovina, misalnya, atau ke arah timur, ke Air Sanih. Kata teman-temannya, ada beberapa tempat penginapan yang sering disewa sesaat oleh berbagai pasangan. Hari Jumat dikenal sebagai Hari Krida dan itu berarti PNS dalam pakaian training bebas pergi ke mana saja dan membiarkan kantor kosong. Sejumlah mobil, katanya, meluncur ke arah timur, atau sekadar diparkir di halaman sejumlah hotel tertentu dalam
Karena sering dipeluk, sering dicium, Desak sudah merasa sebagai istri dosennya, walaupun secara resmi tak mungkin karena suaminya pasti terkena UU Perkawinan. Dan, tentu saja, karena belum lulus, dia juga belum siap nikah. Dalam sms selalu dia sebut lelaki itu sebagai "suamiku", sebab dia sudah memberikan semuanya kecuali keperawanannya, dan lelaki itu juga tak menunjukkan tanda-tanda akan merebutnya. Karena itulah dia merasa makin sayang. Dalam setiap pertemuan diupayakan agar dia bisa memeluk, mendapat rabaan, dan ciumannya, walau hanya sekejap. Hanya saja, dia sering takut, jangan-jangan ada yang mengetahui perbuatan mereka dan kampus menjadi gempar. Mungkin studinya akan dihambat oleh jurusan. Tapi, makin hari Desak merasa makin lekat, dan makin sulit berpisah dengannya.
Tiba-tiba datang berita sms dari teman-teman Desak. Ajakan untuk medelokan . Istri dosennya meninggal dan harus segera dibawa ke Tabanan. Mereka mengadakan pertemuan kilat, dan besoknya secara berombongan dengan mengenakan pakaian adat, berangkat ke Tabanan dengan menyewa mikrobus Isuzu. Desak ikut dalam rombongan, mengenakan kebaya, perasaannya campur-baur. Sedih. Senang.
Di rumah duka dia disambut dengan mata yang masih sembab dan tampak kelelahan. Desak tersenyum bukan menunjukkan kebahagiannya, mengulurkan tangan yang disambut kata-kata: "Bantu Bapak, ya Sak?"
Kaya makna. Desak tertegun. Benarkah dia akan menerimanya sebagai suami, nanti kalau sudah lulus? Dia juga menyalami anak-anak dosennya yang satu per satu dibisiki: "Tabah ya, Mbok. Tabah ya, Bli."
Bagaimana nanti mereka memanggil Desak kalau dia menjadi ibu mereka? Adik? Tak pantas rasanya dia panggil mereka "Nak". Perasaan itu dibawanya sampai ke tempat tidur. Masih teringat kemesraan yang telah diterima, ciuman yang lembut penuh kasih sayang, pelukan yang lama, elusan yang membangkitkan gairah. Rasanya tak ada lelaki lain yang lebih sesuai untuk menjadi suaminya selain sang dosen itu. Dalam tidur dia bermimpi bertemu seorang perempuan mengenakan pakaian serbaputih, kakinya tak menjejak tanah, bau wangi tersebar membungkus tubuhnya. Perempuan cantik itu tidak terseyum. Tiba-tiba bagai burung elang menyambar leher, mencabik-cabik dirinya. Darah mengucur dari seluruh wajah, seluruh tubuhnya, sampai Desak berkeringat dan tersengal-sengal di atas bantal.
Siapakah dia? Apakah dia ibu yang tak begitu dikenalinya? Apakah perempuan itu memberi tanda, isyarat kepadanya, untuk tak merebut suaminya?
Malam memang dingin dan tubuhnya gemetar, dan sampai pagi tak berani dia memicingkan mata. Besoknya dia mangkir kuliah, kelelahan luar biasa. Badannya panas dingin.
Sekarang, setelah lelaki itu menjadi duda, sebenarnya Desak punya kesempatan besar untuk menikah dengannya. Tapi, justru sekarang, dia merasa segala tindakannya, pelukannya, ciumannya, kerinduannya, semua dapat dengan mudah dilihat dari alam
Keputusannya bulat. Seusai mandi dan berpakaian bersih dia bersembahyang dengan canang yang dia beli sehari sebelumnya. Kepada Hyang Widhi dia meminta maaf dan bersumpah untuk menjauhi dosennya, walau berat. Harus dia lupakan semua kemesraan, semua pelukan, semua elusan. Kasih sayang lelaki itu harus dibawa dalam hati, dan dia harus berpikir untuk yang lain. ***
Singaraja, 25-31 Maret 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar