Rabu, 25 Januari 2012

Cerita Perempuan Cerpen: Yonathan Rahardjo


Seputar Indonesia
Minggu, 09 Desember 2007

Cerita Perempuan
Cerpen: Yonathan Rahardjo

Mereka duduk berdua di dalam kamar si perempuan. Si lelaki adalah tamu yang diundang menurut janji bersama.Cahaya siang membuat semua kelihatan terang. Sangat jelas kondisi si perempuan, sejelas lelaki yang bertamu dan duduk berhadapan.

SAMBUTAN tuan rumah yang ramah, tampak dari roman wajah perempuan. Bahasa tubuh seadanya dan tidak dibuat-buat membuat si lelaki merasa nyaman berada di dalam kamar kos yang terdiri dari ruang utama dipisahkan dengan dapur dan kamar mandi oleh tembok penyekat.

Hidangan makanan ringan memang membuat si tamu merasa nyaman. Namun, perbincangan mengalir lancar membuat mereka lebih satu hati dan perasaan. Apalagi, mereka punya pengalaman yang sama tentang sebuah kehidupan di sebuah pedesaan lereng gunung tepi hutan.

”Aku di Lembaga Peduli Lingkungan paling lama hanya dua minggu. Di sana aku sangat suka memetik daun labu, sampai lima kilo, untuk kumakan hanya dengan cabe dan garam. Pulang-pulang kulitku gosong terbakar matahari.” Si lelaki tersenyum mendengar uraian si perempuan,sambil membayangkan suasana yang sama juga ia rasakan ketika ia bergabung dengan lembaga itu, bahkan lebih lama.

”Aku sangat suka kondisi alami seperti di Lembaga Peduli Lingkungan. Sudah ada tanah di daerah kelahiranku untuk menjadi tempat semacam,”lanjut si perempuan. “Tinggal beli tanah, minta sumbangan- sumbangan lalu mendirikan lembaga peduli lingkungan di situ kan?” “Hihi.. Aku sudah ada tempat di daerah kelahiranku, di tepi pantai.” “Tinggal membuat program kan. Itu sudah tipikal di banyak tempat semacam. Kamu perlu menguraikan dalam tulisan.”

”Soal itu sebetulnya aku sudah banyak ngomong,tapi aku tidak bisa menuliskannya. Aku nggak bisa nulis.” “Caranya gampang, ngomong saja dan rekam di tape.” “Nanti kamu yang menuliskannya.” “Ya tulis sendiri. Kalau nggak gitu ya nyuruh orang nulis.” “Sebetulnya aku juga pernah pinta orang menuliskan ceritaku.” “Cerita apa?” “Tentang aku.” “Kisah nyata?”

”Ya semacam itu.’ “Di mana?” “Tabloid Wanita.” Pembicaraan tentang kenangan di lingkungan lereng gunung tepi hutan berubah menjadi cerita kehidupan pribadi si perempuan. “Berapa panjang?” “Dua halaman.” “Ceritanya bagaimana?” “...” Si perempuan diam, tak menjawab.

”Rahasia?” “Ya... Ya, tentang kisahku yang sayangnya ditulis terlalu vulgar. Laki-laki yang tersangkut dalam cerita itu merasa cerita itu tentang dia juga.Setelah membaca, ia langsung menelepon si wartawan. Ia tanya identitas orang dalam ceritanya, dan diberitahu tokoh utamanya adalah aku. Iapun menghubungi aku.”

”Kok kamu begitu.? Menceritakan kehidupan pribadi kalian pada orang bahkan mempublikasikannya?” “Itu kan kenyataan hidupku sendiri.” “Kisahmu melibatkan orang.. Dengan mempublikasikan lalu membuatnya tahu dan bertanya pada penulisnya, berarti ada indikasi kamu mencemarkan nama baiknya.” “Tidak. Aku menyembunyikan namanya.” “Tapi orang kan bisa menerka.”

”Itu kisah hidupku sendiri. Dokumen pribadiku, walau menyangkut dia.” “Kamu publikasikan juga cerita yang menyangkut laki-laki itu. Kekeliruanmu, sebelumnya kamu tidak memberitahu dia.” “Setelah ia menghubungiku, ia berkata, seandainya sebelumnya aku memberitahu, tentu ada yang bisa ia lakukan untuk menolong problemaku.” “Nah...? “Tertarik, kamu dengan cerita itu?”

”Tertarik.” “Orang belum tahu ceritanya kok sudah tertarik.” “Sampai aku bilang begitu, berarti cerita itu menarik. Apa maksudmu menceritakan kisahmu pada orang biar ditulis di tabloid wanita itu?” “Ada..” “Untuk menyadarkan orang?” “Bukan.” “Agar orang lain tidak mengalami hal yang sama?” “Tidak.” “Agar apa?”

”Supaya bila ada orang yang bertanya tentang kasusku itu, aku tidak banyak bicara lagi. Langsung kutunjukkan tabloid itu biar dibaca, sehingga mudah menjelaskan permasalahanku.” “Selain ia yang tersangkut dalam cerita itu, sampai saat ini tidak ada orang lain yang tahu bahwa cerita di media itu adalah tentang aku. Tabloid itu cukup terkenal. Aku berdoa semoga tidak ada orang lain yang tahu.” “Untuk dijadikan buku, cerita itu bagus sekali. Tidak hanya diceritakan tentang percintaannya saja. Tapi juga diwarnai hal-hal lain yang ada dan terjadi pada masa cerita itu terjadi. Sehingga, menjadi karya seperti karangan Novelis Maestro.” “...”

”Cerita yang demikian,banyak miripnya dengan kejadian yang dialami banyak orang lain.” “Betul.” “Aku pernah menonton sinetron,cerita awalnya mirip dengan ceritaku. Tapi kelanjutan dan akhirnya berbeda.” “...”

”Jadi dalam menghadapi masalah yang awalnya sama, ada sikap berbeda dari si pelaku dibanding sikapku.” “...” “Semua itu justru membentuk sikapku jadi tegar saat menghadapi masa-masa sulit serupa itu. Sikap tegar ini tidak dimiliki oleh para pelaku yang banyak kutemui pada cerita lain.Mereka wanita yang suka mengalah dan kalah dalam menghadapi problem semacam.” “...”

”Dalam kebiasaanku sehari-hari, aku menjadi terbiasa dengan gaya hidup mandiri. Kalau ada genteng bocor dan lain- lain pekerjaan yang dekat dengan lelaki, aku bisa menangani.” “...”

”Namun meski begitu, dulu aku juga wanita yang lemah. Lemah lembut. Kalau pulang ke desa misalnya, tanganku selalu dipegang oleh temanku. Kalau ada apa-apa dengan perilaku dan kesalahanku, aku suka menjawab ya,ya,ya?, cuma menurut dan pasrah terhadap kemarahan dan tuntunan orang tua.” “...”

”Dengan kejadian itu, aku menjadi lebih tegar. Tidak lembek lagi. Kurasakan pengaruh besar akibat tragedi hidupku ditulis wartawan itu..membentuk perubahan sikap padaku.” “...” “Terlalu pendek kok ceritaku itu. Sebetulnya bisa diperpanjang untuk menjadi satu cerita novel. Nanti manggil Novelis kita..” “Novelis besar sekalian saja. Atau bahkan Novelis Maestro.”

”Haha meledek!” “Tidak. Memang cerita semacam itu kadang butuh orang yang tepat untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan.? ?Kamu kan juga suka menulis...” “Kalau tulisanku, pasti punya gaya tersendiri.” “Soal perselingkuhan juga?” “Ya, bisa.” “Kalau begitu kamu bisa menuliskan tentang perselingkuhanku.” “Cerita apa lagi ini? Lain dari yang tadi?” “...” “Cerita lain lagi?” “...Tulis ya..” “Beres.”

”Ceritanya, temanku banyak yang cowok. Tapi, ada satu cewek yang tipenya mirip dengan aku. Kami pun menjadi sahabat. Hingga, suatu saat ia membuatku merasa berhutang budi padanya. Maka, ketika aku melakukan sesuatu yang terkait dengannya, aku merasa sangat bersalah dan berdosa.” “Apa itu?” “Aku malu menceritakannya padamu.” “Kan kamu minta ditulis...”

Hening sejenak.. ?Suatu saat, di tempat terpencil jauh dari orang, dalam kondisi terdesak aku melakukan....? ?...Apa?? ?....Selingkuh dengan suaminya. ..Dan, aku merasa sangat bersalah karena mengkhianati temanku.? ?...?

”Untungnya sekembalinya di kantor, aku dan suaminya bisa melupakan kejadian itu sama sekali. Aku dan suaminya tak menunjukkan sesuatu yang aneh terhadap teman-temanku, juga kepada temanku itu. Kejadian itu kami simpan dengan rapat.” “...” “Tapi aku tetap merasa bersalah, minta ampun sama Tuhan, bahkan sampai naik Haji segala.” “...”

”Ternyata setelah aku sadari, aku merasa sangat bersalah karena lelaki itu adalah suami orang. Aku kasihan pada istrinya, temanku sendiri. Dan aku sendiri yang rugi, karena setelah itu, lelaki itu pasti lupa padaku. Karena ia sudah punya istri, yang pasti harus lebih diperhatikannya. Aku merasa rugi, karena aku masih bujang. Beda kalau aku melakukannya dengan lelaki yang juga bujang.” Suasana hening. Angin berhembus menerbangkan plastik bekas pembungkus di halaman kompleks kos-kosan. Angin usil mendorong pintu kamar koskosan itu menutup. Cahaya kamar berkurang. Si lelaki mendekat ke arah si perempuan sang tuan rumah.

Makin mendekat. Dipegangnya bahu si perempuan. Ditatapnya tajam mata si perempuan. Sebuah tanya terucap dari bibir mengiringi rasa yang menembus mata dan luruh ke jantung mereka berdua. “Kamu.... suka kehidupan pribadimu ditulis dari kenyataan dan pengalaman.. ya?” “Kamu mau kan menuliskannya?”

”Agar orang tahu kisahmu, lalu lakilaki yang kamu ceritakan bersamamu mencarimu karena malu namanya kamu cemarkan namun tetap juga belas hati padamu, lalu kamu mengalami perubahan sikap dalam hidupmu, seperti ceritamu yang pertama?” “Apa maksudmu?” “Aku mau menuliskan kisah kita.”

”Apa itu?” ... Tanpa ucap, keesokan harinya, beberapa koran memberitakan peristiwa dengan ilustrasi foto cukup besar dan berwarna, dengan judul tulisan besar. Salah satunya: “PENGARANG DAN PEREMPUAN TEWAS BERPELUKAN” **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar