Jawa
Pos
Minggu,
29 April 2007
Burung di
Atas Kuburan
Cerpen: Nugroho Sukmanto
BANGUN tidur, kudengar kepak-kepak sayap.
Kulongok lewat jendela, istriku dari kejauhan sedang mengawasi tukang kebun
menghalau burung-burung. Semua diusir ke luar kandang. Walaupun hanya burung
puter dan parkit, tetap saja aku merasa kehilangan. Pasti tak ada lagi lonceng
hidup yang berkukgeruk setiap subuh. Dan takkan kudengar lagi ramai kikit
mengiringi saat sarapan, pagi-pagi.
Bila tidak diperintahkan gubernur, tentu tak
ada yang akan merelakan binatang-binatang piaraannya, begitu saja melenggang
pergi. Tetapi, demi menghindari dari kemungkinan terjangkit flu burung, tanpa
diminta, para tetangga melakukannya dengan suka rela. Ternyata kematian selalu
saja menghantui. Memandangi burung-burung melesat keluar sangkar, lalu
bertengger di dahan seakan menggoda, aku teringat waktu kecil saat sering
diajak berburu paman. Selain pemain anggar dan bola basket yang andal, paman
seorang penembak jitu. Dia biasa menggunakan senapan angin untuk memetik
mangga. Tentu yang dikenai bukan buahnya, tetapi tangkai yang hanya seulir sapu
lidi. Karena itu, tidak mengherankan bila burung-burung tak pernah lepas dari
bidikannya.
Paling senang bila aku diajak berburu di
payau-payau yang mengelilingi tambak di daerah Krapyak atau Mangkang, kawasan
barat Semarang .
Selain burung ayam-ayaman dan bangau thonthong yang lezat dagingnya, sering
kubawa pulang juga ikan bandeng yang kena tembak ketika muncul di permukaan.
Setiap kali tampak burung berkelebat menampakkan
diri, paman langsung menempelkan gagang senapan di pipi, memejamkan sebelah
mata, dan mengarahkan laras ke sasaran. Lalu cezzz, dan terdengarlah teriak
paman, "Lari, lari..." Aku pun kemudian menelusuri galengan tambak
dan menapaki genangan payau untuk memungut burung yang jatuh terkena tembakan.
Bila sasaran berjarak sangat dekat, paman
kadang memberiku kesempatan melaksanakan eksekusi. Pertama-tama tubuhku seperti
akan terpental dihentak getar senapan. Tetapi, lama-lama aku terbiasa dan mulai
menikmati perasaan sebagai jagoan.
Tak jarang kami hanya menunggu sasaran di
pelataran kuburan Bergota, atau mendaki makam keramat di Gunung Brintik yang
berada di belakang Gereja Sukasari. Di sana
burung-burungnya lebih kecil dan kurang enak dimakan. Tetapi, paman merasa
senang karena seakan dia sedang menjalankan sebuah misi rahasia.
Menurut kepercayaan yang diceritakan dalam
komik dan buku pewayangan, burung-burung di kompleks pemakaman merupakan
penjelmaan ksatria yang sedang menjalani kutukan karena kesalahan atau
kekhilafan yang diperbuat. Dengan membunuhnya kita akan membebaskan arwahnya
menuju nirwana.
Sewaktu kutanyakan apa benar yang dikemukakan
paman itu, nenek menjawab berang, "Jangan percaya pamanmu. Membunuh ya
membunuh. Dosa. Mudahmudahan dia tidak kena karma. Ih, amit-amit..."?
"Tetapi, binatang kan
harus dibunuh sebelum dimakan, Nek?!" Aku membela paman.
"Ya, kalau langsung mati. Kalau hanya
terluka?!"
Nenek selalu memarahi paman kalau tahu dia
akan berburu. Apalagi bila membayangkan korbannya masih hidup karena tembakan
paman hanya mengakibatkan luka, tak cukup mematikannya.
"Bilang pamanmu, apa dia nggak kasihan
melihat burung-burung itu terluka?! Coba kalau yang luka kaki atau
tangannya," nenek sering ngomel kepadaku.
Setelah paman menikah dan memiliki beberapa
anak, kemarahan nenek kepada paman tidak lagi tentang berburu, karena sudah
tidak dilakukan paman lagi. Tetapi masih tentang burung, yang menurut nenek,
terlalu banyak dipelihara paman di rumahnya. Perkututnya saja ada 52 ekor.
Padahal untuk memeliharanya paman masih sering meminta uang kepada nenek.
Belum berhenti marah-marah soal burung, semua
dikejutkan karena tibatiba nenek naik pitam menyuruh paman menceraikan
istrinya.
"Kalau perempuan sudah pergi sama
laki-laki lain tanpa sepengetahuan suaminya, itu sudah cukup sebagai bukti
pengkhianatan. Tidak hanya sekali, kakakmu sudah memergoki beberapa kali. Tak
perlu lagi mempertahankan mahligai perkawinan yang dinodai istri yang tidak
setia dan tak dapat menjaga kehormatan rumah tangga. Aku tidak takut cerai,
sedang kamu, laki-laki pengecut!"
"Kasihan anak-anak," paman
menyahut. Terpikir olehku, mungkin paman merasa bersalah karena lebih sering
mengurusi burung daripada istrinya.
"Setelah cerai, kamu tetap bisa dan
harus mencintai anak-anakmu," nenek langsung menyahut dan kemudian
menambahkan, "Kamu tidak perlu membenci istrimu.?Itu lebih baik daripada
kamu memendam perasaan yang menganggu kehidupanmu. Tanpa bercerai, anak-anakmu
kasihan, hidup dalam suasana kebimbangan. Mereka menghadapi keadaan yang tidak
lumrah. Seorang perempuan dalam dekapan dua laki-laki."?
Nenek memang galak, tetapi orang kampung
hormat dan sayang kepadanya.? Dia tak segan-segan menolong bila ada tetangga
memerlukan bantuan. Kepadaku dia juga sangat sayang namun tetap saja
perangainya kasar. Tetapi, aku tidak pernah mendendam dan tetap sayang kepada
nenek. Karena itu sifatnya dan kutahu yang dilakukan adalah memberi peringatan
agar aku kuat dan tegar, serta menghindari perbuatan yang dapat mencelakakan
diri sendiri maupun orang lain.
Suatu ketika, di tengah malam, anak paman
datang diantar tukang becak mengabarkan musibah. Buru-buru semua berangkat ke
rumah paman.
Nenek hanya sedikit meneteskan air mata saat
menjumpai anaknya sudah tidak bernyawa. Paman meninggal dunia dengan mulut
berbusa dan belum sempat dibawa ke rumah sakit. Menurut keterangan istrinya,
paman minum limun bersoda setelah sebelumnya menelan obat demam dan sakit
kepala. Campuran bahan kimianya mengakibatkan paman keracunan. Melihat
tanda-tanda itu, sepertinya memang demikian. Namun, nenek curiga, kematian itu
karena kelakuan paman sendiri. Meski begitu, nenek tidak ingin melaporkannya ke
polisi. Beberapa hari setelah penguburan paman, nenek mengatakan, "Coba
lihat,?pasti sebentar lagi istrinya kawin dengan laki-laki yang selalu
mengajaknya pergi itu."
Bapakku hanya mendengarkan, tetapi kutahu
pasti, dalam hati?bapak juga mencurigai begitu. Ternyata benar. Tiga bulan
kemudian istri paman kawin dengan laki-laki itu.
Sebelum menikah lagi, istri paman menyerahkan
seluruh burung peninggalan paman kepadaku. Untuk sementara burung-burung itu
kusimpan di gudang pabrik lilin milik bapak, sebelum sebagian kujual dan
sebagian lainnya kupelihara.
Tapi, begitu nenek tahu burung-burung itu ada
di gudang, dia langsung memintaku untuk melepaskan semuanya di atas makam
paman. Dia juga menyerahkan senapan angin milik paman yang terlihat masih
terawat dengan baik. Nenek meminta senapan itu ditanam di sebelah kuburan
paman.
"Biar arwah pamanmu ditemani
burung-burung dan senapan itu. Siapa tahu, dengan senapan itu dia ingin
melakukan kesenangannya."?
Aku merasakan keharuan dan penyesalan nenek,
ketika kemudian dia mengatakan, "Mestinya aku tak menyebut-nyebut kata
karma. Tetapi kalau memang itu yang menjadi suratan, mudah-mudahan menghapus
semua dosa-dosanya."?
Setelah burung-burung kulepas dan menghilang
dari pandangan, tiba-tiba muncul anak-anak kecil berlarian. Mereka ternyata
sedang mengejar burung serupa elang yang terluka sayapnya, sambil
berteriak-teriak, "Alap-alap, alap-alap...!"
Burung itu sudah tak mampu lagi terbang jauh.
Setiap menghindari bidikan, dia hanya bisa singgah dari satu pohon ke pohon
lain. Aku dapat merasakan kebencian anak-anak itu, karena aku pernah melihat
alap-alap menerkam burung merpati kesayanganku di udara. Baberapa kali juga
kudapati burung-burung merpati yang kugabur di Simpang Lima tidak pernah pulang
lagi. Mungkin, dalam perjalanan, sebagian berakhir jadi mangsa alap-alap.
Alap-alap yang terluka sayapnya itu kini
hinggap di dahan sebuah pohon di atas kuburan. Anehnya, tiba-tiba aku curiga
dan bertanya-tanya, jangan-jangan alap-alap yang terluka sayapnya itu
penjelmaan roh paman yang bergentayangan. Seketika aku pun berharap, bila
benar, ketapel anak-anak yang mengejar itu segera dapat membunuhnya.
Tetapi, ketapel-ketapel itu ternyata tidak
ada yang mengenai sasaran. Maka, lalu kuambil senapan, kukokang, dan kuisi
peluru. Gagangnya kutempelkan di pipi, kupejamkan sebelah mata, kemudian
kuarahkan larasnya ke sasaran. Cezzz! Terdengar teriak anak-anak kegirangan,
"Kena... kena...!"?
Saat itu, terbayang arwah paman terbang ke
surga. ***
Bintaro Jaya, 3 Februari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar