Kamis, 02 Februari 2012

Yang Berdiri di Muka Cermin Cerpen: Syafiril Erman


Pikiran Rakyat
Sabtu, 08 September 2007

Yang Berdiri di Muka Cermin
Cerpen: Syafiril Erman

SEORANG lelaki berdiri di muka cermin retak di bawah sebuah bohlam kecil 10 watt yang tergantung di belakangnya. Bulan tampak menyembul separuh di sudut atas jendela yang terbuka selebar-lebarnya; sebagian cahayanya masuk ke dalam. Gubuk tempat tinggal lelaki tersebut tampak begitu murung dan suram, sepadan dengan kesuraman yang tengah melanda hati dan jiwanya.

Ia seorang petani miskin. Lahannya yang terletak tepat di samping gubuknya itu adalah sepetak kecil seluas 25 bata yang hanya mampu menampung 125 ikat benih padi. Apabila alam tengah berbaik hati, ia akan dapat memperoleh 5 karung gabah yang montok saat panen. Namun, musim panen kali ini terlalu kejam. Tak ia sisakan panen kali ini selain 3 karung gabah kurus kering yang teronggok tak jauh dari tempatnya berdiri tersebut.

Istrinya 7 bulan lalu telah berangkat ke Arab Saudi sebagai TKW. Mereka tak beranak, itulah yang membuat mereka tak terlalu berat hati berpisah, sementara untuk mencoba memperbaiki nasib. Nanti, apabila sang istri sudah mulai mapan di sana, ia akan segera dikabari; siapa tahu ia juga dapat menyusulnya ke sana mengikuti jejaknya sebagai TKI, begitu rencana mereka berdua 7 bulan lalu.

Selesai mengikuti serangkaian pelatihan singkat yang diselenggarakan oleh agen PJTKI tempat sang istri mendaftarkan diri, ketika tiba saat pemberangkatan, ia menyempatkan diri untuk turut mengantarkan sang istri hingga menaiki bus yang membawanya ke bandara.

Hari-hari pun berlalu. Bulan pertama sang istri mengirim surat, mengabarkan bahwa kondisi dia di tanah orang relatif baik, artinya semua berjalan dengan lancar. Keluhan yang muncul hanya flu. Bisa dipahami, itu adalah karena perbedaan suhu dan cuaca, toh mulai bulan kedua keluhan tersebut tak muncul lagi. Di bulan kedua itu sang istri juga mengirimkan paket sajadah, kopiah haji, dan selembar foto dirinya di depan Masjid Harram. "Sabar sebentar ya kang mas, saya di sini sedang mencoba mencari celah untuk membawamu kemari", begitu salah satu penggalan surat istrinya tersebut. Hati lelaki itu pun berbunga-bunga.

Lima bulan sudah. Kini ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya lagi, setelah hartanya satu persatu telah ia pindah alamatkan ke pegadaian untuk menyambung hidup. Lima bulan ini ia tak lagi menerima surat dari sang istri. Tak ada kabar sama sekali. Belakangan, ia merasa mendapat firasat buruk setelah malam kemarin ia bermimpi melihat istrinya berpakaian ihram tengah berdiri di depan Kabah. Tersenyum. Wajahnya terlihat sangat bersih dan cantik. Ia merasa bahwa mimpi itu adalah sebuah pertanda. Tadi, bahkan ia sempat berpikir untuk mengirim surat kepada istrinya, mengajaknya untuk kembali saja ke kampung. Ia mulai menyadari bahwa mengurus lahan kecil itu ternyata lebih baik daripada mengejar mimpi di negeri orang. Namun, tentu saja itu tidak bisa dia lakukan. istrinya dulu pernah bilang bahwa ia terikat kontrak selama 2 tahun. Jika ia memutuskan kontrak secara sepihak, ia harus mengganti uang ganti rugi yang jumlahnya sangat besar kepada PJTKI tempat istrinya mendaftarkan diri.

"Kang Welas..., Kang Welas...", teriak seseorang tiba-tiba dari balik pintu. Lelaki itu tersentak.

"Kang Welas..., Buka pintu...!"

"Sopo kuwi?"

"Aku kang, Suminar.... Cepat buka pintu...!" jawab orang dari balik pintu.

"Iyo... sebentar," sahut lelaki itu sambil bergegas menuju pintu.

Seorang hansip berdiri di depan tangga pintu dengan wajah tegang. Belum sempat lelaki itu bertanya, lengannya tiba-tiba digamit. "Sebaiknya Kang Welas ikut saja. Ayo!", kata hansip tersebut. Lelaki itu bahkan tak sempat untuk berpikir saat tiba-tiba saja ia telah berada di halaman rumah Pak Lurah. Ia mulai merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatinya saat menginjakkan kakinya di teras rumah itu.

"Assalamualaikum...," kata hansip Suminar sambil mengetuk pintu.

"Yo. Pintune ora dikunci", sahut seseorang dari dalam.

Di ruang tamu itu sudah ada empat orang menunggu. Dua orang di antaranya berpakaian seragam polisi lengkap, dan seorang lagi adalah wanita separuh baya yang leher dan pergelangan tangannya dililit rantai emas. Pak Lurah berdiri saat melihat kedatangannya. Sesuatu yang aneh dalam hatinya yang ia tangkap saat di teras tadi kian menggumpal. Lelaki itu diam mematung, memandang kedua lelaki berpakaian seragam polisi tersebut. Aneh, kali ini ia merasa sorot matanya tak bisa fokus.

"Mari, silakan duduk, Pak Welas", kata Pak Lurah. "O iya, sebelumnya kenalkan dulu, beliau-beliau ini adalah petugas dari kepolisian sektor, dan ibu itu adalah perwakilan dari agen PJTKI tempat istri bapak mendaftarkan diri", lanjutnya. Ketiga orang tersebut menganggukkan kepala perlahan. Lelaki itu tak membalas. Kini ia merasa rongga dadanya seperti tak berisi. Hampa. Ia hanya menatap ketiga orang tersebut.

Sejenak suasana terasa lengang. Hening. Semuanya telah duduk di lima kursi yang tersedia di ruang tamu itu.

"Bagaimana dengan hasil panen kemarin pak?", tanya Pak Lurah memecah keheningan. Lelaki itu tak berhasrat untuk menjawab. Menurutnya pertanyaan tersebut adalah basa-basi semata. Pak Lurah tentunya tahu bahwa semua petani di dusunnya tersebut kini mengalami kegagalan panen.

"Bu..., tolong kopinya tambah segelas lagi!", kata Pak Lurah dengan nada agak keras.

"Begini, Pak Welas. Beliau-beliau ini kemari adalah untuk menyampaikan berita penting..", pak Lurah berhenti sejenak. Matanya memandang ketiga tamunya tersebut. "Bagaimana bapak-bapak, ibu, Anda yang akan menyampaikan sendiri, atau...?". Kedua polisi tersebut membuka kedua telapak tangannya. Wanita paruh baya agen PJTKI itu pun turut membuka kedua telapak tangan, bahkan disertai dengan mengangkat bahu. "Silakan, Bapak saja yang menyampaikannya. Bukankah tadi sudah saya sampaikan seluruhnya kepada Bapak?" jawab wanita paruh baya. Pak Lurah mengangguk, lalu menatap dengan hati-hati pada lelaki yang duduk tertunduk itu.

"Anu, Pak Welas, beliau-beliau ini datang kemari membawa berita dari Arab Saudi. Mari, silakan diminum, Pak Welas", kata pak Lurah begitu istrinya selesai meletakkan secangkir kopi di atas meja di hadapannya. Lelaki itu sama sekali tak menunjukkan perubahan raut muka. Perasaan aneh di dalam dadanya itu kian bergumpal. Ia merasa bahwa ketiga orang itu pasti membawa berita buruk perihal istrinya. Tatapan lelaki itu yang kini hampa. Ia sama sekali tak berhasrat untuk menyentuh cangkir kopinya.

"Lima bulan yang lalu, istri Bapak terlibat sebuah pencurian di rumah majikannya, lalu ia dihukum oleh majikannya, kemudian dirawat di rumah-sakit, dan...", begitu berhati-hati Pak Lurah mengucapkan kalimat tersebut. Ia diam sejenak untuk mencoba menangkap ekspresi wajah lelaki itu. Mengherankan. Tak ada sedikit pun perubahan ekspresi; lelaki itu masih dalam diam, mematung, dengan tatap mata hampa yang kali ini lurus ke depan.

"Dan..?" hanya sepotong kata itu yang terlontar dari bibir lelaki itu.

"Dan, minggu lalu beliau didapati telah meninggal dunia di rumah-sakit...", lanjut Pak Lurah sambil menyodorkan selembar amplop besar yang berisi foto-foto.

Lelaki itu mengangkat telapak tangan, mengisyaratkan bahwa ia sama sekali tak berhasrat melihat foto-foto di dalamnya. Keempat orang di ruang itu saling pandang.

Keheningan kembali menyeruak.

"istri Bapak adalah seorang pekerja yang baik. Sebaiknya Bapak mengikhlashkan kepergiannya. Kami sebagai agen pengirimannya mengucapkan rasa bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas musibah yang menimpa istri bapak tersebut. Ini gaji istri bapak selama lima bulan terakhir, kiranya bapak me....", kalimat wanita separuh baya tersebut terpotong ketika lelaki itu tiba-tiba bangkit lalu beranjak meninggalkan pertemuan.

"Pak, Pak, Pak Welas..., hendak kemana? Urusannya belum selesai. Minggu depan jenazah istri bapak akan dikirimkan kemari...", kata Pak Lurah dengan nada kebingungan menyaksikan reaksi lelaki tersebut.

"Uang gaji dan bukti penerimaannya, tolong diteken Pak...", kata wanita paruh baya dari tempat duduknya sambil mengacungkan selembar kertas berikut pena.

Tepat di muka pintu lelaki itu membalikkan badan. Mata yang tadi hampa itu kini menatap tajam seluruh orang yang ada di ruang tersebut.

"Seperti berita-berita di koran itu, kan? istri saya pasti telah dianiaya oleh majikannya. Saya tak mengizinkan jenazah Suratmi dikirimkan kemari. Biarlah ia dimakamkan di sana saja", katanya.

"Lalu?" kata wanita paruh baya masih sambil mengacungkan selembar kertas dan sebatang pena. Lelaki itu tak menjawab, ia menatap tajam berhujam-hujam mata wanita setengah baya pengurus PJTKI itu. Tak ia tengok sedikit pun lembaran kertas yang mencantumkan bilangan yang isinya senilai dengan 5 bulan gaji istrinya sebagai TKW di Arab Saudi.

Sejurus kemudian lelaki itu telah bergerak membelah pekat malam menuju rumah gubuknya.

**

DI hadapan cermin retak, lelaki itu kembali berhadapan dengan bayangan dirinya. Ia melihat wajahnya berkeping-keping di sana. Sempurna sudah musim kemarau kali ini. Lelaki itu telah sampai pada puncak pencapaian keputusasaannya. Pikirannya tak mampu bekerja, hatinya pun tak berasa apa-apa. Nihil. Itulah yang saat ini ada dalam jiwanya. Kakinya pun bahkan tak lagi berpijak di bumi. Bulan telah meninggalkan sudut jendela. Langit hitam terbentang luas di atasnya. Lelaki itu melangkah perlahan. Sesobek koran ia renggut dari atas meja. Dengan sebatang potongan pensil ia mulai membuat tulisan cakar-ayamnya di atas sobekan koran itu.

Untuk Kang Suminar.

Kang, sekarang aku sudah tak punya apa-apa lagi. Keluarga tak punya, istri pun mati di negara orang. Hidupku kok sia-sia begini sih, Kang? Aku merasa percuma menjalani hidup di dunia ini. Sudah, kuikhlaskan gubuk ini buat akang. Akang boleh menempatinya atau hendak akang bakar untuk dijadikan kebun, terserah akang. Aku sudah tidak kuat lagi menanggung beban hidup di dunia ini Kang. Aku akan menyusul Suratmi saja.

Selesai menulis pesan tersebut lelaki itu bangkit perlahan. Di salah satu karung gabah ia tancapkan secarik koran itu, kemudian ia ambil tali bekas pengikat karung goninya lalu ia ikatkan ujung tambang itu di atas kayu blandar atap rumahnya.

Sejurus kemudian lelaki itu telah tegak berdiri di atas kursi. Lehernya berkalung tali tambang. Malam telah benar-benar sempurna. Lelaki itu masih sempat memandang bayangan dirinya yang tercabik-cabik di dalam retak kaca cerminnya.

Esoknya, seluruh kampung di dusun kecil itu gempar. Hansip Suminar yang pertama kali menemukan: Tubuh Welas tergantung di bawah blandar kayu rumah gubuknya. Lidahnya terjulur, bercak sperma menempel di kain sarung yang ia kenakan. Welas bunuh-diri.***

Bandung, Juli 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar