Kamis, 02 Februari 2012

Seorang Ibu Menunggu Cerpen: An. Ismanto


Sinar Harapan
Sabtu, 15 September 2007

Seorang Ibu Menunggu
Cerpen: An. Ismanto

Sehembus angin menghambur-hamburkan debu, dedaunan layu dan ceceran kertas di halaman rumahnya ketika suatu sore ia menemani suaminya bercengkerama di beranda. Terdengar bunyi gemeresak yang ribut. Mendengar bunyi itu, ingatannya terseret kembali ke detik-detik menegangkan bertahun-tahun lalu, ketika ia berdiri di pintu dengan cemas sementara azan maghrib menjengkali setiap penjuru udara. Namun, seperti biasa, suaminya selalu saja membuyarkan saat-saat menggetarkan itu.

”Sudahlah. Jangan lagi kau kenang-kenang anak bengal itu. Nanti kau sakit,” kata suaminya dengan ketus.

”Tapi dia anak kita, Yah,” jawabnya lirih.

Suaminya mendengus. “Apa faedahnya menunggu anak durhaka seperti itu? Berapa tahun sudah dia tak pulang, tak berkirim sekadar kabar? Toh kalau dia kembali, kau dan aku juga sudah menjadi terlalu tua dan semakin dekat dengan kuburan. Dia tak akan membuat kita kembali menjadi muda. Huh, anak durhaka seperti itu. Kenapa tak kau kutuk saja dia jadi batu seperti Si Malin?”

Ia menunduk dan diam. Selalu begitu. Setiap kali ia dan suaminya bersilang pendapat, ia selalu mengalah. Ia tak pernah berani membayangkan sebuah pertengkaran antara ia dan suaminya, meski ia marah sekali dengan keketusan suaminya barusan dan rasanya ia ingin membentak laki-laki itu: “Biar begitu, dia tetap anakku! Anakku!”

Rasanya ingin ia menyangkal: kau laki-laki, tak tahu betapa aku senantiasa kembali menjadi muda setiap kali terkenang anakku tersayang mengompol, atau menangis malam-malam lantaran lapar, atau ketika ia memainkan puting susuku sambil tertawa-tawa.

Dan seorang ibu tak akan pernah mengutuk anaknya menjadi batu, bahkan bila anak itu durhaka. Bagi seorang ibu, anak tetap anak. Titik.

Namun, ia tetap membungkam. Di dalam hatinya, ia membui kemarahan rapat-rapat seperti penjahat hingga setiap kali suaminya pulang, ia selalu menjadi istri yang menyenangkan dan berbakti. Ia telah kehilangan anaknya. Ia tak mau kehilangan lagi.

Seluruh hidupnya telah ia pasrahkan kepada dua orang laki-laki itu: suami dan anak laki-lakinya. Kalau suaminya marah, bisa-bisa suaminya meninggalkan rumah dan mencari rumah lain. Ia bukannya tak tahu bahwa selama ini suaminya kadang-kadang menginap di sebuah rumah yang lain. Namun, ia tak pernah memasalahkan hal itu.
Yang penting baginya adalah bahwa suaminya itu selalu menjadi suami yang baik di rumah.

Apakah anak itu, seperti kata suaminya, memang telah menjadi durhaka dan tak akan pernah kembali? Jika ya, maka anak itu tak pernah tahu bahwa makna kata ibu dalam segala bahasa adalah sabar dan ketegaran menunggu. Dan kasih Ibu, sebenarnya, tak hanya seluas samudera. Berapakah luas samudera? Orang bisa mengukurnya dengan meter atau mil, tetapi perkakas apapun tak akan sanggup menera berapa Kasih Ibu.

Suatu pagi, ketika membersihkan gudang belakang, ia menemukan sebuah layang-layang rusak. Kertas layang-layang itu compang-camping dan warna gambarnya telah pudar. Benda itu bersandar lesu di dinding, terhimpit kaki sebuah meja tua.

Ia tercenung sejenak, lalu meletakkan sapunya dan menarik layang-layang itu dengan hati-hati. Serbuk-serbuk kuning luruh dari layang-layang itu, menimpa kakinya, dan sebagian hinggap di bajunya. Ketika ia menepuk-nepuk bajunya, serbuk-serbuk itu berhamburan di udara dan membikin ia bersin-bersin.

Jari-jarinya yang keriput dan gemetaran menyusuri rangka bambu layang-layang sementara benaknya tertatih-tatih merakit ulang ingatan. Lalu, tanpa ia sadari, ia telah menghitung dalam hati dan bergumam, “ua puluh tahun. Sudah lama sekali.”

Ia membawa layang-layang rusak itu ke ruang depan. Cahaya pagi menghambur masuk lewat pintu yang terbuka lebar. Tetapi, dalam pandangannya, udara tiba-tiba ditangkup remang. Ia juga mendengar azan maghrib. Layang-layang rusak di tangannya telah hilang dan berganti sehelai kain sulam, sementara ia bersandar di langkan pintu. Kepalanya tertunduk dan jari-jarinya yang kokoh memainkan jarum dan benang dengan terampil. Sesekali ia mengangkat wajah dan melempar tatapannya melintasi halaman, meloncati pagar bambu, dan berhenti di kerimbunan kebun singkong di seberang jalan.

Di sela-sela suara azan, sayup-sayup ia mendengar suara kemersak kertas. Ia tersenyum dan menunduk, berpura-pura meneruskan sulamannya. Dalam hati, ia menghitung sampai sepuluh. Pada hitungan yang kesepuluh, tepat seperti dugaannya, sepasang lengan mungil memeluk kakinya. Ia menyisihkan kain sulaman dan melihat, di bawah sana, wajah mungil-kotor seorang bocah lelaki tengah memandangnya dengan mulut sedikit terbuka. Ia tersenyum, membungkuk dan mengusap rambut kusut dan berdebu bocah itu.

”Ayo masuk, Buyung,” bisiknya dengan lembut seraya meraih lengan bocah itu.

Sejenak, bocah itu tampak ragu-ragu, tetapi kemudian ia menurut. Mereka berjalan melintasi ruang depan, melewati seorang laki-laki kekar berkaos singlet yang tengah duduk membaca koran. Sesaat, laki-laki muda itu melirik kepada si bocah, lalu meneruskan bacaannya.
.
Ia meletakkan kain sulamannya di sebuah kursi dan membimbing bocah itu ke kamar mandi. Dengan cekatan, ia tanggalkan pakaian kumal bocah itu dan memandikan, menyabuni dan mengeramasinya hingga bocah itu menggigil dan tertawa-tawa. Setelah mengeringkan badan bocah itu, ia membawanya ke kamar dan mendandaninya.
Kini bocah itu nampak tampan dan rapi dengan kemeja putih, celana pendek dan sarung berwarna biru gelap. Kemudian ia memberikan sebuah Qur’an kepada bocah itu dan membimbingnya ke ruang depan. Ia menunggu di pintu sementara si bocah menghampiri laki-laki kekar itu. Si bocah mengambil tangan kanan laki-laki kekar itu dan menciumnya dengan takzim.

”Pak, saya berangkat ke masjid dulu,” kata bocah itu.

Tiba-tiba ia tersentak. Sebuah sepeda motor dengan suara meraung-raung melintas di jalan di depan pagar. Ia menggelengkan kepala dan berusaha merangkai benda-benda nyata yang ada di sekelilingnya.

Namun, detik-detik menggetarkan itu telah bermukim dalam ingatannya....

Sering kali ia terjaga dengan tiba-tiba pada tengah malam karena bermimpi tentang anaknya. Terdengar dengkuran suaminya meningkahi bunyi serangga di luar. Pada saat-saat seperti itu, ia merasakan betapa jauh ia dari anaknya. Ya. Pada saat-saat seperti itu, ia mengerti mengapa jarak bisa menjadi lebih tajam dari pisau. Dan ia hanya bisa menatap langit-langit yang remang seraya meratap: O Buyung, pulanglah, padamkan rindu dendam bundamu ini. Janganlah kita bertemu hanya dalam mimpi.

Betapa ingin ia melihat anak itu. Sekadar melihat wajahnya, atau menyentuh lengannya yang dulu ia bimbing dengan lembut, lengan mungil yang berdebu sehabis bermain layang-layang sepanjang siang di pematang. Ia selalu teringat saat-saat ia mendendangkan nina bobo sementara bocah itu terkantuk-kantuk dalam buaiannya, atau ketika ia membisikkan kata-kata manis untuk menenangkan bocah itu ketika si bocah bermimpi buruk. Ah, betapa anak itu lemah, membutuhkan dahan tempat bergantung dan di waktu panas tempat berlindung.

Setiap kali teringat betapa lemah bocah itu, ia mengeluh: “Pulanglah, Buyung, engkau tak kan kuat hidup di rantau.”

Namun, ia tahu bahwa anaknya tidak selemah itu. Waktu telah membuat anaknya menjadi pemuda perkasa. Ya. Betapa ia selalu mencamkan prahara itu, ketika seluruh negerinya tercabik-cabik saat anak-anak pertiwi lupa bahwa mereka punya Ibu yang sama. Perang saudara hampir pecah di mana-mana. Semua yang berbau negara rumpang dan poranda. Ah, pada saat-saat seperti itu, betapa negara sangat mirip ibu tiri yang tak becus mengurus anak suami dari istri terdahulu. Dan bagi saudara-saudara yang lelah menderita itu, suaminya, seorang pegawai negeri berpangkat tinggi, kepala sebuah sekolah negeri, adalah perkakas negara. Rumahnya diruntuhkan orang banyak, dan ia dan keluarganya tiba-tiba miskin papa.

Saat itu anaknya telah lulus SMA, telah tumbuh menjadi seorang pemuda angkuh. Masih terpacak jelas dalam ingatannya ketika keluarga besarnya berhamburan mendatangi rumahnya membawa barang-barang berharga.

”Untuk kau pakai membangun kembali kebanggaan keluargamu yang punah,” kata mereka.

”Kami tak butuh belas kasihan!” sembur anaknya saraya mengembalikan barang-barang sumbangan itu.

Betapa ia selalu teringat ketika mengantarkan anak itu di stasiun kereta. Seorang pemuda, hanya lulusan SMA, hendak menantang dunia. Ia dapat melihat mata anaknya tajam menatap gerbong kereta kelas ekonomi yang penuh sesak. Sekilas, ia melihat anak itu tersenyum. Sebelum naik gerbong sesak itu, anak itu memeluknya erat-erat. Ah, betapa ia ingin saat itu abadi. Ketika kereta mulai berangkat, hanya sekali anak itu menoleh kepadanya. Sekali saja, dan sekilas, hanya sekilas, ia melihat dua butir air mengintip di mata anak itu, tetapi anak itu cepat-cepat mengusapnya.

Betapa saat itu hatinya girang bukan kepalang. Ya. Ia tak mau anaknya menjadi pemuda cengeng. Rasa-rasanya ia akan sangat berat untuk memaafkan anak itu seandainya saat itu anaknya menitikkan air mata, biar cuma setetes.

Apakah suatu saat nanti bocah angkuh itu akan datang, mencium kakinya, dan berkata untuk memadamkan hati gundahnya, “Ibu, Ibuku sayang, jangan menangis, Ibu. Aku telah pulang, Ibu?”
Seorang pemuda angkuh seperti itu....

Kini, bertahun-tahun setelah suaminya meninggal, ia merasa bahwa yang menjaganya tetap hidup adalah harapan. Ya. Harapan bahwa suatu saat nanti, sebelum ia pulang ke Bumi, tempat segalanya menjadi Lupa, anak itu akan kembali kepadanya. Ia sadar bahwa harapan itu seperti gelombang, selalu turun-naik. Namun, ia bertekad untuk tetap menunggu, sekuat tulang sehabis tenaga, hingga waktu terus berlalu, sampai ke anak cucu.

Apakah suatu saat nanti ia akan kembali, bersama dengan cucu-cucuku, tanyanya dalam hati. Dan ia menangis sesenggukan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar