Suara
Karya
Kamis,
28 Maret 2002
Cerpen Beni Setia
Assalamu'alaikum wr,wbDinah, yang merasa
ditinggalkan, saya sengaja menulis surat
ini agar tidak merasa ditinggalkan -- tokh kini ada seorang kawan dari seberang
yang ingat kamu dan menulis surat
padamu. Saya juga mau bercerita bahwa kami -- saya dan istri mengajar di
sekolah yang sama -- telah sampai. Memulai hidup baru (bulan madu?) dengan
tetek bengek repot memindahkan barang dari kamar kos bujang dan lajang ke rumah
kontrakan keluarga baru. Rumah kami dekat sekolah. Ke pasar sekitar dua kilo,
Di depan rumah kami ada pohon cempedak hingga halaman teduh dan selalu disapu
anak-anak yang main di sana
sepanjang hari. Kamar mandi di luar. Bangunan tembok tanpa atap dengan sumur
yang timbanya selalu bergerit bila dipakai mengangkat air. Kamar mandi bersama
dengan tetangga. Jamban tanpa atap ada dibelakang kebun. Di atas kali kecil
yang tak pernah kering meski musim kemarau. Ndesit -- kampungan. Tapi hidup
lebih dari sekadar seting. Maaf kalau surat ini hanya mengganggu ketenanganmu,
karena kamu pernah bilang: Sehabis mengajar sembahyang, beristirahat sambil
memutar MP3 lagu instrumentalia, lalu sembahyang, dan mengurus halaman --
anggrek-anggrek yang harus selalu dirawat, yang lebih rewel dari anak bayi
--lantas mempersiapkan makan malam sebelum sembahyang Magrib dan bablas ke
Isya. Setelah itu membaca -- dan MP3 harus selalu bunyi, dan harus
instrumentalia -- atau menonton TV, tidur, bangun untuk bersembahyang malam,
tidur, untuk sembahyang Shubuh dan mempersiapkan sarapan serta makan siang.
Tapi kamu juga bilang, selalu berpuasa, terutama di hari Senin dan Kemis. Saya
bertanya, saat itu, untuk apa? Kamu diam saja. Tapi aku tahu motifnya dari
omongan banyak kawan -- kawanmu tokh masih kawanku juga, tokh kita hidup dikota
yang sama, disekolah yang sama, dan kuliah di PT yang sama, meski kemudian kamu
kerja di M kita dan aku di B di seberang. Mereka bilang kamu minta diberi
petunjuk jodoh, selain diringankan jodoh. Tapi jodoh itu apa? Apakah semacam
kecocokan kamu bertemu dia seperti yang diangankanmu? Atau dia bertemu kamu
seperti yang bertemu dengan yang dia angankan? Tapi bagaimana kalau yang
diangankan itu tak ditemukan di alamreal dunia ini? Tapi bagaimana kalau yang
ditemukan itu cuma mencapai 50% kriteria? Apa kamu berhak menolak atas nama
idealisme padahal dia dikirimkan-Nya untuk kamu karena kamu getol puasa dan
ngelakoni? Lantas bagaimana tang apan kamu kemungkinan. Anda Istigfarani lajang
asal B yang mengajar Tata Buku. Hapsah, gadis setempat yang bekerja sebagai TU.
Atau Syamsiah, bekas murid yang kuliah di Jawa dan kini jadi teman diskusi via
surat. Atau Rini Haspari, guru Matematika asal Y. Saya berpikir saya harus
memilih salah satu dari mereka -- meski sejak awal saya lebih cocok de-ngan
Istigfaraini. Saya pun ambil beberapa kali shalat Istikharah. Mendapatkan
petunjuk lalu memutuskan. Kami bersekapat meski akan mengkonsultasikannya
dengan keluarga terlebih dahulu. Kami pulang bersama-sama di liburan panjang
itu. Saya pulang dengan keputusan itu. Ingin omong dengan orang tua dan
mengajaknya melamar. Saya bilang tentang si itu pada mereka. Bapak langsung
setuju. Ibu agak malas dan menginginkan agar menantu perempuannya orang yang ia
kenal dan dari lingkungannya sendiri. Ibu minta supaya aku melamar kamu. Aku
tak sreg tapi Ibu minta agar aku mencoba. So just Try it. Saya datang kepadamu
sebagai teman, sekaligus langsung menanyakan apa kamu masih single, menyatakan
saya masih single, dan mengajakmu rabi. Kamu tertawa, seakan-akan saya ini badut
-- kamu ingat kan ?
Saya tak sakit hati. Saya cuma menjalankan permintaan Ibu, sebagai manifestasi
bukti dan kepatuhan kepada Ibu. sunah Rasul itu. Saya datang lagi dan melamarmu
lagi -- ya kan ?
Kamu memaki-maki, menganggap saya ini lelaki yang sok gagah dan ideal dan
beranggapan saya mengandaikan dirimu cuma si perempuan asal-asalan. "Ngaca
dulu!" katamu. Saya tersenyum. Saya itu cuma menjalankan permintaannya
Ibu. Lega karena kehendak itu sudah dilaksanakan dan tak terlaksanakan bukan
karena aku tak melaksanakannya. Bahagia karena bisa kembali ke rencana semula.
Memikirkannya dan mendapatkan pencerahan ilahiah tentang jodoh yang derajatnya
ada di level kelahiran dan kematian, sebagai nasib yang suka atau tak suka
harus diterima dan disyukuri, sebagai peneguhan iman kita. Saya OK saat
menemuimu -- bukankah kita itu teman semenjak main pasaran di teras rumahmu?
Saya tanya apakah kamu masih sendiri. Saya bilang bahwa saya juga masih
sendiri. Berterus terang ingin melamar dan mengawinimu. Kamu berteriak marah.
Mengusir saya seperti patung jerami me-ngusir burung gagak dalam film kartun.
Kamu juga bilang bahwa saya cuma orang udik yang cukup puas jadi guru udik. OK.
Benar. Tapi saya ini hidup bersama banyak orang, bertemu banyak orang, dan
merasakan manisnya solidaritas dan toleransi serta lucunya kecurangan dan
kelicikan banyak orang. Saya menemui banyak orang, saya pun melihat banyak
orang, dan berbahagia ketika melihat meeka itu berbahagia dan ikut simpati
dengan larut dalam kesedihan mereka. Sedangkan kamu? Dan ketika melamarnya --
nama Istigfaraini -- saya pun disergap semacam kesadaran. Aini itu memang telah
menjadi jodoh saya, karena meski setengah ditolak Ibu dan saya mengikuti
penolakannya, denan mendekatimu, kamu malah membantu saya meneguhkan Aini itu
jodoh saya. Kamu tahu sendiri: Ibu terus mendekatimu dan kamu terus menolak.
Alasannya saya itu mengajar di seberang, di sana masih banyak orang yang hidup di bawah
garis kemiskinan, di sana
tidak bisa mengejar pendidikan yang lebih tinggi di jenjang S-2, dan banyak
lagi. Dan kamu tak pernah mau menyadari bahwa kita ini cuma mahluk, dan Allah
SWT sebagai Chalik menciptakan kita dengan segala ketebatasan kita, dengan
ketentuan yang tak bisa kita tolak dan harus kita terima, dan memberikan semua
itu sebagai cobaan apa kita bahwa dan tawakal hingga lulus ujian -- selain
segala ibadah yang wajib itu -- atau lancung seperti Ibliks yang tak mau patuh
pada fatwa agar menghormati Nabi Adam As. Menghormatinya seperti menghormati
orang yang lebih tua atau dituakan karena jadi si bungsu, dan justru berontak
karena beranggapan Allah SWT menciptakan sesembahan lain selain Dirinya yang
wajib disembah, dan kemudian jadi laknat yang dendam kepada manusia. Dinah yang
baik -- kamu sering muncul di dalam kenangan akan kampung seperti kenangan
intim kepada Ayah, Ibu, dan adik serta kakakku, dan mungkin kamu memang cuma
cocok jadi adik --, saya marah padamu karena saya sayang. Saya marah karena
kamu telah "memperlakukan" Allah SWT Yang Maha Kuasa itu sebagai
pelayan yang melayani keinginan-Nya dengan kepatuhan abdi yang mencari
ridha-Nya. Kinilah saat bagi kamu untuk bertobat. Minta ampun dan jadi orang
yang menyerahkan diri pada pengatur kehendak-Nya. Mencoba mencumbu nasib dan
berbahagia dengan manis dan getir cobaan hidup. Bertobat. Berhenti mimpi dan
kembali jadi abdi -- abid. OK? Maafkan kalau saya ini nyinyir, Dinah. Terima
Kasih atas kesudiannya mau membaca surat
yang curat marut ini. Wasalamu'alaikum wr.wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar