Suara
Merdeka
Minggu,
27 April 2008
Sebuah Kota,
Serupa Imaji, seperti Mimpi
Cerpen: Sunlie Thomas
Alexander
/1/
SEBUAH kota , serupa imaji, seperti mimpi. Tapi
apalagi yang dapat aku kisahkan padamu tentang kota kelahiran yang tinggal serpihan
kenangan, Aisyah? Kota
kelahiran yang hanya tinggal sesamar bayang ingatan dan senantiasa coba kurawat
dengan bengal, terus-menerus didera zaman. Bukankah begitu banyak yang telah
kututurkan dan selalu kau simak dengan mata tak berkerdip?
Tapi kau tetap saja memintaku menceritakan
lebih banyak lagi tentang kota
tua yang terletak di ujung paling barat pulau kecil itu. Ah, selalu saja kedua
matamu yang menggemaskan menatapku dengan manja dan memeras. Membuatku bagai
tak berdaya di bawah pukau sesuatu yang seolah sihir.
Kau tahu, buku-buku sejarah yang diajarkan
pada anak-anak sekolah di Indonesia pun hanya mencantumkan pulau penghasil
timah terbesar di dunia itu sebagai lokasi pengasingan Bung Karno, Bung Hatta,
Agus Salim, Mohammad Roem dan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan lain pada 1949.
Maka Mentok sebagai kota
pengasingan tokoh-tokoh itu pun kerap diluputkan. Hmm, karena itukah kau jadi
begitu antusias saat kukisahkan padamu tentang Bukit Menumbing —sekitar 10 kilo
dari pusat kota
Mentok— yang berhawa sejuk dan menjadi tempat pembuangan para tokoh tersebut?
”Apakah sesejuk hawa pegunungan Alpen, Bah?”
sepasang matamu tampak berbinar-binar. Aku hanya tersenyum mendengar
pertanyaanmu yang polos. Ah, kadangkala aku memang suka lupa kalau kau belum
pernah merasakan iklim negeri-negeri tropis. Hm, tentu saja tak sesejuk hawa
pegunungan Alpen yang melingkupi kota
ini, Aisyah. Tapi konon karena tak tahan dengan hawa dingin di sana, Bung Karno
pun meminta dipindahkan ke daerah kota sehingga Belanda harus menyiapkan
baginya sebuah rumah di tepian Sungai Daeng di tengah kota Mentok. Rumah itulah
yang di kemudian hari dikenal sebagai Pesanggrahan Mentok.
Pelabuhan Mentok diperkirakan dibangun oleh
pemerintah Inggris ketika berkuasa selama kurun waktu 1812-1816, dan hingga
kini masihlah menjadi salah satu gerbang laut pulau kecil itu. Ah, apabila
suatu saat kau berkunjung ke sana ,
Aisyah, moga-moga masihlah kau dapati bangunan-bangunan bergaya kolonial yang
dibangun pada masa pemerintahan Belanda atau rongsokan kapal-kapal perang di
perairan pantai Tanjung Kelian. Semoga semua artefak sejarah itu masih tersisa.
Tentu kau tahu, bangsa Indonesia
bukanlah bangsa yang telaten merawat sejarah.
”Apakah Mentok dulunya dibangun di atas
rawa-rawa, Bah? Bukankah ada begitu banyak kota-kota di Asia Tenggara yang tak
punya sejarah panjang, tak sebagaimana kota-kota tua Eropa?” kau jadi kian
bersemangat saja.
Padahal kau tahu, aku bakal sulit mencari
literatur yang dapat menyodorkan bukti-bukti autentik awal pembentukan kota tua bernama antik ini
padamu, Aisyah. Masyarakat di sana
pun hanya mengandalkan kisah dari mulut ke mulut. Entahlah sejak kapan Mentok
dihuni orang. Mungkin tak lama setelah ditemukan dan dieksploitasinya bijih
timah. Mungkin. Bahkan tak ada yang mengetahui pasti kenapa kota tua itu dinamakan demikian.
Terlalu banyak riwayat yang berseliweran,
Aisyah. Sebuah hikayat misalnya menyebutkan bahwa Mentok dinamakan menurut nama
Gubernur Jenderal Inggris yang berkedudukan di Tumasik, yaitu Lord Minto. Ada pula yang mengatakan
kalau pada mulanya Mentok dibangun untuk kepentingan permukiman yang tak
terlepas dari sejarah Palembang .
Konon ketika Pangeran Jayawikrama naik takhta sebagai Sultan Mahmud Badaruddin
I, keluarga Kerajaan Palembang kurang berkenan dengan kehadiran isteri pertama
sang Sultan bernama Zamnah yang berasal dari Johor. Sehingga si isteri kemudian
memohon agar diperbolehkan tinggal di pulau kecil itu. Ai, dari Tanjung
Sungsang, dataran di muara Sungai Musi, Zamnah melihat kawasan di seberang yang
dianggapnya cocok untuk bermukim.
“Amun tok, kalau itu tempatnya sesuailah,”
syahdan begitulah kira-kira ujar si isteri.
Kata-kata itu pun menjelma jadi nama kota . Entahlah. Riwayat
yang lain lagi mengisahkan kalau nama Mentok sesungguhnya berasal dari kata
”entok” yang berarti ”di situ” dalam bahasa Siantan. Jawaban yang terlontar
dari mulut Lim Tau Kian, seorang Tionghoa mualaf asal Guang Zhou yang bernama
muslim Ce Wan Abdul Hayat tatkala ditanya oleh anak buahnya di mana mesti
meletakkan batu fondasi mendirikan kampung ketika rombongan mereka tiba di
pulau kecil itu untuk merintis penambangan timah atas perintah Sultan Johor.
Ah, hikayat Mentok adalah hikayat timah,
Aisyah! Berbondong-bondong orang Tionghoa kemudian didatangkan dari China daratan
lantaran dianggap banyak menguasai teknik penambangan. Sebagian besar dari
mereka adalah orang-orang Hakka, anggota puak Hai San, sebuah perserikatan
gelap yang dipimpin oleh Chung Keng Kooi di Penang. Mereka membawa beragam
teknologi baru yang sampai sekarang masihlah digunakan dalam penambangan timah
seperti cara pengeboran yang disebut ciam atau sistem pengayakan pasir timah
yang dikenal sebagai sakan.
Setelah dikuasai Belanda, sebagai kota pusat pertambangan
timah sekaligus pusat keresidenan, Mentok pun berkembang menjadi kota modern khas
kolonial. Pada 1850, misalnya, seorang Belanda bernama Kolonel de Lange memuji
perkampungan Tionghoa di Mentok sebagai yang terindah di seluruh Hindia. Ai!
/2/
SEBUAH kota ,
serupa imaji, bagaikan mimpi... Demikianlah Aisyah! Sekadar riwayat kota kecilku yang tinggal
seserpih kenangan masa lalu nan rapuh, yang sesungguhnya tak lagi memanjangkan
ingatan kecuali rindu-redam tertahan sebagaimana isakku terkena pedas sambal
terasi Ibu di pengap dapur yang jauh. Ya, dapur sebuah rumah panggung di sudut
pasar Mentok yang riuh. Rumah khas orang Melayu, apit-mengapit dengan
rumah-rumah berarsitektur koloni dan Tionghoa.
O, betapa aku lamat mengenang sebuah kota kecil yang semarak,
sudut pasar yang kumuh dan anyir namun menawan dengan rumah-rumah beragam rupa
budaya berdempetan. Dengan masjid, gereja dan kelenteng seolah saling
bersahutan menyerukan panggilan bakti-ibadah. Tentu, suasana yang samar kuingat
dengan haru-biru dan tak akan pernah kau mengerti sebagai seorang gadis yang
dibesarkan di kota
dunia yang diberkahi kesejukan hawa pegunungan Alpen ini; kota yang selalu hibuk dengan sejarah, dengan
riwayat yang terlampau detail! Meskipun keduanya sama dipertemukan ragam budaya
dari penjuru.
Ya, kau benar Aisyah, di kota-kota tua Eropa,
dalam dingin udara pun mengaum sejarah! Paling tidak, begitulah dulu aku
membayangkan kota
yang indah ini, setelah melihatnya sekelebat lalu —serupa lanskap dari kaca
jendela kereta api yang retak-berdebu —dalam sebuah film detektif di layar
bioskop. Dengan angan seorang bocah yang penuh pukau-takjub menyaksikan anggun
kastil-kastil dan katedral, elok jembatan dan patung monumen.
Demikian pula aku berkhayal tentang Paris
yang modis dengan Menara Eiffel menusuk langit; membayangkan temaram London
pada malam buta dengan dentang Big Ben sesayup sampai, bagai memanggil sang
Pangeran Drakula singgah di pucuknya; atau Shanghai yang eksotik dengan
lalu-lalang ricksaw; pun derap sepatu barisan serdadu yang berbaris rapi di
Lapangan Merah Moskow. Demikian, Aisyah, seperti Calvino membangun kota-kota
angannya, khayalku tak henti melenting-melambung ke berbagai belahan dunia:
Berlin, Amsterdam, Lisbon, Montevideo, Istanbul, San Fransisco, Tahiti,
Copenhagen, Rio de Janeiro, Brussels dan kota-kota dunia lainnya yang terus
kusaksikan dalam film-film di bioskop tua penuh ngengat atau film-film layar
tancap yang kerap diputar malam hari di lapangan bola. Kota-kota yang tak habis
dieja, tak tandas dibayang —terbentang bak permadani di bawah cakrawala. Tentu,
sembari berharap suatu hari, dewasa kelak, dapat kujelang.
Benar, di Asia Tenggara, ada terlalu banyak
kota-kota yang tumbuh dan lahir begitu saja tanpa masa silam. Terkadang tanpa
secarik pun catatan, walau sekadar menyiarkan sebuah berita tentang
persinggahan musyafir, tersesatnya seorang raja yang sedang berburu, atau kabar
lepasnya roda kereta kuda Tuan Puteri. Sebaliknya, kota-kota —besar dan kecil—
terkadang lahir dan tumbuh dari aneka mitos: dari dongeng seorang isteri setia
yang terjun ke laut untuk membuktikan kesucian dan cintanya, atau legenda
sebuah sungai tempat seekor hiu dan buaya berjumpa dan saling memangsa!
Tersampai turun-temurun, dari mulut ke mulut.
Oh Aisyah, kadang-kadang di sana, memang
selayaknya keajaiban Abunawas dapat membangun kota dalam waktu semalam: rumah-rumah
tiba-tiba saja telah berdiri berhimpitan, rawa-rawa menjadi pemukiman mewah,
sawah-sawah ditumbuhi gedung-gedung perkantoran, hutan pala jadi jalan layang,
atau sebuah jalan setapak yang dulu selalu kau lewati saat pergi-pulang
memancing di sungai seketika telah menjadi jalan aspal lebar ber-hotmix! Betapa
mencengangkan!
Begitu pun di pulau kecil itu, syahdan
kota-kota terlahir dari bekas parit penambangan, dari deretan batang-batang
pinang, dari bekas area perkebunan tebu, pun dari jejak kaki seorang raksasa
yang konon adalah leluhur pertama orang-orang pulau itu.
Ya, di sana
sebuah dunia baru bisa saja seketika tercipta, Aisyah. Seolah hendak mengejek
keanggunan Roma yang kerap tersebut dalam ujar-ujar: ”Tak mungkinlah didirikan
semalaman!” Atau New York ...
Oh, New York ,
apel besar yang berlumuran sejarah kelam, jejak panjang rasisme dan perseteruan
yang kini alangkah angkuh dengan Patung Liberty mengacungkan obor kebebasan;
siapa nyana dibangun oleh para gangster! Kau ingat kisah Dead Rabbits?
Cukuplah sekali aku ceritakan padamu
bagaimana aku menjadi warga kota
yang indah ini —alangkah jauh dari kota
halaman dan Tanah Air, bahkan dari rapuh ingatan; ngungun dan tak bernama,
Aisyah. Tak perlu pula kukisahkan lagi bagaimana aku mengenal mendiang ibumu,
gadis manis dari Saigon —ai, kota yang perih dengan air mata gerilyawan
Vietkong dan serdadu Amerika— yang menawan itu di sebuah kedai kopi kecil di
pinggiran Fribourg. Hmm, kedai mungil yang eksotik, seketika membangkitkan
ingatanku pada warung kopi Ko Akhiong di sudut dermaga Mentok yang senantiasa
ramai disinggahi para pelaut dari berbagai penjuru, bergurau ribut mengabarkan
beragam kisah dari kota-kota asing bernama asing. Ah, betapa wangi aroma
kopinya yang khas, bercampur giringan jagung, seolah meruap lagi dari cerek
tembaga, Aisyah!
Harum kopi. Hmm, entah kenapa malam ini
tiba-tiba khayalku melambung lagi. Tidak, tidak ke kota-kota dunia sebagaimana
ketika bocah, ataupun ke kota-kota imajinasi Calvino dan Maconda! Tapi kali ini
lebih liar, seliar belukar, ke sebuah kota
yang semata-mata hanya terjangkau dalam angan; atau mungkin tepatnya kubangun
dalam angan.
Ya, bermula dari bercak kopi yang tumpah di
karpet, mirip sepotong peta dalam atlas. Tumpahan itu kemudian melebar serupa
sebuah wilayah di mataku: ah sebuah kota
yang meluas, entah oleh pembangunan atau penaklukan. Perlahan-lahan anganku pun
tumbuh dari bercak basah di karpet itu menjadi rumah-rumah bercat putih bagai
rumah-rumah di Maconda. Terus berkembang menjadi kastil dan monumen, pasar dan
stasiun, pelabuhan dan jembatan. Sebuah kota ,
sungguh fantatis!
/3/
YA, sebuah kota , sebuah imaji, Aisyah. Mirip mimpi, dan
hanya dapat kaujenguk di negeri antah berantah, di waktu yang entah pula. Sebut
saja namanya Samalanca. Tetapi janganlah kau mengingat sebuah kota di belahan bumi manapun yang barangkali
pernah kau dengar namanya sama. Atau mungkin nama sebilah pedang mestika yang
menjadi perebutan ksatria-ksatria dari tanah tinggi yang syahdan hidup abadi,
melintasi abad demi abad yang nyeri untuk berperang dan menghantui jagat
pengkisahan serupa bayang-bayang.
Sekali lagi, kota ini sungguhlah imaji, negeri yang
fantasi, Aisyah! Konon, dulunya dia memang dibangun dari mimpi seorang lelaki
pecundang yang datang pada suatu malam kelabu setelah melewati perjalanan
panjang melarikan diri dari dunianya yang tak ramah lagi. Tatkala itu bulan
berupa bayang-bayang pucat dan udara nyaris membeku. Ia datang dengan berdayung
perahu, dari sebuah negeri begitu jauh. Lebih jauh dari sebuah kota yang pernah kau lihat dalam kartu pos
bergambar yang dikirimkan seseorang. Tentu orang-orang kemudian mengenang
lelaki itu sebagai pahlawan, pendiri kota
yang budiman. Setara ia dengan Balian dari Ibelin, pande besi yang mati-matian
mempertahankan gerbang Yerusalem dari penyerbuan Sultan Saladin. Pun sekadar
seorang Jose Arcadio Buendia, yang mendirikan Maconda —sekali lagi dunia baru
penuh takjub dan haru biru— dalam kepala Gabriel Garcia Marques! Bahkan seperti
Cornelius Duck, pendiri kota
Bebek dalam komik Walt Disney....
Apabila kita saksikan patungnya yang tegak di
tengah-tengah kota, di tengah segala keganjilan dan keajaiban melebihi Kota
Gotham, kita memang akan mendapatkan sesosok lelaki kurus berwajah muram dengan
mata sayu yang seolah menyesali dunia. Tetapi janganlah khawatir, Aisyah.
Justru kota
ini, kota yang
didirikannya dari mimpi, akan menawarkan suasana ceriah dan bahagia yang tak
ada habisnya. Membuat kita merasa memiliki dunia!
Begitulah kota ini mekar berkembang dalam kepalaku,
Aisyah. Gedung-gedung kian menjulang tinggi menembus awan-menggapai langit,
rumah-rumah serupa kotak kubus, jalan-jalan melingkar seperti ular. Bagaikan
Gotham yang dipenuhi aurora manusia kelelewar atau Central City yang selalu
dijaga makhluk berkekuatan laksana angin topan mirip seorang aristokrat. Oh,
kota-kota fantatis para superhero yang kukenal dan kusimak sepenuh semangat
dari buku-buku komik sewaan dan gambar-gambar umbul. Sudah lama sekali. Tentu
di tempat-tempat peminjaman buku dan lapak pasar malam Mentok, kota merapuh itu...
/4/
SEBUAH kota ,
sebuah imaji, kadangkala memang mencemaskan seperti mimpi. Tapi sungguh, bukan
maksudku hendak membuat wajahmu yang sumringah jadi cemberut. Sepasang matamu
yang menggemaskan itu sekarang melotot galak tapi justru karenanya membuatmu tampak
lebih cantik.
”Berhentilah mengisahkan kota ajaib dalam khayalan Abah, aku hanya
ingin mendengar cerita tentang Mentok, Bah!” tiba-tiba kau memotong dengan
suara ketus.
Aku tertegun. Mendadak saja di mataku,
entahlah, kau terlihat begitu mirip dengan perempuan itu, Aisyah. Alangkah
miripnya! Entah kenapa. Dadaku pun jadi sedikit berdebar.
Malam terasa menggigil. Berita televisi tadi
sore memang mengabarkan akan ada lagi badai salju. Cuaca akhir-akhir ini
semakin buruk saja. Kurapatkan sweater hangatku. Kau melemparkan pandanganmu ke
perapian. Memperhatikan bayangan lidah api yang menari-nari.
Hm, seandainya saja kau mengenal perempuan
itu, Aisyah. Gadis berkepang dua begitu ayu —ah, tentunya tak lagi gadis
setelah pesta penikahannya yang kuhadiri dengan hati remuk-redam itu— yang
berdiri ngungun di tepian dermaga dengan wajah merengut. Sepasang matanya yang
mengemaskan, dengan alis tipis melengkung, tak berkerdip memandang riak ombak
Selat Bangka yang berdebur lembut. Tampak begitu memeras dan menciutkan. Tapi
tak ada lambaian ataupun sepotong kata-kata perpisahan ketika perlahan kapal
pengangkut kelapa sawit, karet, dan lada yang kutumpangi akhirnya bertolak dari
pelabuhan. Menjauh bersama tiupan angin barat yang berubah haluan. Usiaku saat
itu menjelang delapan belas, sebaya denganmu, Aisyah. Udara yang beraroma bacin
seperti membeku.
Oh, haruskah aku ceritakan juga padamu
tentang perempuan itu? Hatiku masih ragu. Apalagi ketika kulihat wajahmu yang
masih saja cemberut, Aisyah. ***
Gaten, Yogyakarta ,
Februari 2008
/cerita buat Nana Eres
Tidak ada komentar:
Posting Komentar