Republika
Minggu,
15 April 2007
Sungai yang
Tenang
Cerpen: Hudan Hidayat
Aku memandang ke sungai yang tenang. Dari
jendela kamar lantai dua rumahku, nampaklah sungai yang tenang itu.
Kadang-kadang hinggap burung di atasnya. Burung yang kecil. Dari kamarku
terlihat ringkih. Tapi, ia tak pernah jatuh ke sungai itu. Selalu bisa terbang.
Ringkih, tapi bisa terbang.
Apa yang ada dalam benak burung-burung itu?
Kadang mereka berombongan datang ke sungai itu. Mungkin tak ada apa-apa dalam
benak burung-burung itu. Pikiran mereka cuma terbang dan makan. Meneruskan
kehidupan. Mereka menyambar makanan di atas sungai itu. Jadi sungai itu
memberikan kehidupan pada burung-burung itu.
Sungai itu, kehidupannya darimana? Pastilah
sungai itu terbentang sejak lama. Sudah banyak pula riwayat di atasnya. Apakah
salah satu riwayatnya? Setahun yang lalu sungai itu mengirimkan batang-batang.
Waktu kutegaskan mataku ternyata bukan pokok-pokok kayu, seperti yang kukira.
Tapi tubuh manusia. Hanyut di atas sungai itu. Mengalir tanpa daya.
Siapa yang menghanyutkannya? Mungkin hanyut
sendiri. Tubuh itu tersangkut, lalu tenggelam dan mati. Dibawa sungai itu
dengan perlahan, mengalir tenang. Tapi, tubuh-tubuh itu begitu banyak. Kuhitung
ada empat puluh lima ,
datang dan pergi. Kadang tubuh-tubuh itu mengalir dekat sekali. Rambutnya
seolah bukan rambut lagi. Tubuhnya seolah bukan tubuh lagi. Beberapa tidak
bertangan. Beberapa tidak berkaki. Ada
juga tubuh saja, kepalanya sudah tak ada.
Jadi, tubuh-tubuh itu tak mungkin manusia
yang tersangkut, lalu tenggelam dan mati. Pasti ada perisitwa sampai
tubuh-tubuh itu mengalir dan dibawa sungai itu.
Apakah peristiwanya? Aku tak tahu. Itulah
salah satu riwayat sungai itu. Aku hanya memandang dari balik jendela kamarku.
Aku tidak pernah turun ke sungai itu. Persahabatan kami cuma dari jarak jauh,
sejauh antara sungai itu dengan kamarku. Kira-kira tiga atau empat meter.
Sering aku mendengar sungai itu mengeluarkan
bunyi. Seolah manusia. Aku merasa bunyi itu untukku. Jadi sahabatku itu bicara
padaku. Apa yang dikatakannya?
Pesan apa yang hendak kau sampaikan, wahai
sungai yang tenang? Aku tak punya pesan apa-apa. Tapi kadang aku merasa diriku
sama seperti dirimu. Kadang kurasakan kau pun adalah sungai. Mengalir tenang di
kamarmu.
Mengapa kau tak pernah keluar kamarmu? Tentu
saja: bukankah kau sungai seperti diriku, yang mengalir di alur kita
masing-masing. Kau tahu, diriku hanya mengalir di sebentang jalan ini. Jalan
sungai. Sudah ratusan tahun aku menjalani alur ini. Dan kau? Kau sudah 65 tahun
mengalir di kamarmu. Itu kalau aku tidak salah hitung, saat melihat kau pertama
kali menjenguk diriku dari kamarmu.
Kau benar, sungai yang tenang. Aku sudah 45
tahun di kamar ini. Alurku berhenti di sini. Seperti alurmu, berhenti di sana .
Tetapi mengapa? Ah, lagi-lagi aku bertanya.
Bukankah kau sungai seperti diriku. Jadi tak perlu ditanya lagi. Kita memang
berhenti di alur kita. Tapi, sebelum kau berhenti di alurmu, pasti ada
peristiwa dalam dirimu sampai kau menetap di sana .
Benar, wahai sungai yang tenang. Tapi biarlah
ia menjadi riwayatku sendiri. Seperti riwayatmu sendiri yang tak pernah
kumengerti.
Sungai itu mengalir lagi.
Malam membuat dirinya menjadi hitam. Lampu di
atas jembatan setapak meredup. Seekor tikus yang gemuk menyeberang. Seekor ular
membuntutinya. Mereka berkejaran di sungai itu. Tikus ingin segera sampai,
selamat dari patukan ular. Ular ingin segera mendapat makan malamnya. Lihat
kawan, di atasmu kini ada pertandingan.
Aku lihat. Aku merasa tubuhku geli, tikus dan
ular itu berjalan gesit sekali. Gesekan itulah yang membuat tubuhku geli.
Tubuhmu geli, tapi bagi si tikus, ini saat
mendebarkan dalam hidupnya. Lihat dia berusaha sedemikian rupa.
Bagi si ular pun, ini saat mendebarkan dalam
malamnya. Lihat ia pun berusaha sedemikian rupa.
Ah, ular itu....
Mengapa kawan?
Aku tahu ular itu. Sarangnya tidak jauh dari
diriku, di balik rimbun sana, dekat tebing. Dari kamarmu memang tidak
kelihatan. Tapi, di situlah anaknya berada. Jadi, tikus itu bukan untuk
dirinya, tapi untuk anaknya, yang kelaparan dan kini hampir mati.
Oh, begitu rupanya. Maaf ya, ular yang baik
hati. Aku tidak menyangka. Tapi, bagaimana pun aku tidak bisa melihat tikus
itu. Wahai ular, mengapa kau tak mencari makanan lain saja?
Wahai sungai, tak bisakah kau mengirim
gelombang, agar ular itu berhenti mengejar. Hanyutkan dia ke arah sana.
Bisa saja. Tapi sebagai sungai aku harus
adil. Tidak memihak adalah sikapku selama ini. Biarkan saja hukum alam berlaku
di sini.
Tapi, aku tahu tikus itu, kawanku. Dia juga
ditunggu anaknya di seberang sana. Tempat mereka di balik semak di belakang
rumah Pak Tua. Aku sering melihat Pak Tua memberikan sisa-sisa makanan pada
tikus-tikus itu. Percayalah, kawanku, aku tidak akan membohongi kamu.
Tentu saja aku percaya padamu. Tapi, kalau
itu kulakukan, aku akan berhenti sebagai sungai. Sedang aku tidak ingin
berhenti sebagai sungai. Aku akan jadi sungai sampai kapanpun. Dan, seperti
kataku tadi, sungai yang baik adalah sungai yang tidak memihak. Dia menerima
segalanya. Mengalirkan segalanya mengikuti alurnya. Cerita dunia ini aneh ya?
Bagaimana?
Sepuluh tahun yang lalu aku menerima tubuh
seorang lelaki, yang dihanyutkan anaknya malam hari. Air mata anak itu jatuh ke
tubuhku. Aku diam saja. Anak itu terus saja berkata-kata.
Sungai yang tenang, ayah saya sakit gula, dan
saya orang yang tidak mampu. Namun, begitu saya tetap mencari uang itu. Saya
meminjam kesana-kemari. Uang terkumpul secara bertahap dua belas juta. Saya
serahkan uang itu kepada rumah sakit, untuk biaya berobat. Sebagai imbalannya,
rumah sakit menyerahkan mayat ayah saya, karena saya tidak mampu lagi membeli
obatnya. Saya ingin marah. Saya ingin menangis. Tapi apalah guna marah dan
tangis kepada benda mati.
Benar, sungai yang tenang. Rumah sakit tak
lebih dari kumpulan benda mati yang tak punya hati. Karena itu, simpanlah
tangismu sendiri. Kini terimalah mayat ayah saya. Karena engkaulah yang berhak
menerimanya.
Mengertikah kamu, wahai sungai yang tenang?
Terimalah mayat ayah saya sebagai tanda perkenalan kita.
Kami berdiam diri menyimak cerita itu. Aku termenung
memandang langit yang dilintasi burung. Sementara sungai itu bersiul. Aku ingin
bertanya bagaimana nasib anak itu. Tapi, kawanku tak juga menjawab. Lalu,
kudengar dia berkata: jadi aku mohon kamu mengerti, wahai lelaki yang baik
hati, bahwa nasib manusia akan berhenti pada alurnya sendiri.
Aku menyetujuinya. Tetapi, pikirkanlah sekali
lagi, selagi ada waktu. Lihat ular itu sudah hampir mendekati tikus itu.
Pikirkanlah kawanku, sebelum semuanya terlambat.
Sungai itu tidak menjawab. Diam dan berjalan dengan
tenang. Tubuhnya membentang. Mengirimkan airnya yang hitam. Membelah kota-kota
hitam. Membelah nasib manusia dan takdir dunia, yang mengalir mengikuti
jejaknya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar